JAKARTA I Kompas 1 Net-(22/01) Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Jakarta Selatan menggelar acara diskusi dan seminar di kantor Walikota Jakarta Selatan, Sabtu (22/1/2022) dengan tajuk,” Mendorong Peningkatan Pembiayaan UMKM Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional,” dihadiri oleh Danny Askiah (moderator), Mantan Ketua PKC DKI Jakarta Anwar Sani (Praktisi Ekonomi), Irwan Suharto (aktivis gerakan’98).
Danny Askiah (moderator) menyampaikan, bahwa Pemerintah menggelontorkan anggaran dalam rangka program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor UMKM dengan rasio pembiayaan hanya 19% sangat jauh dari negara maju.
“Negara maju angka di atas 30%. Padahal, jika 20% , target pemerintah sekitar 12 juta,” ungkapnya mengawali sesi diskusi
Kata dia, menceritakan khalayak umum saja mengajukan KUR sangat susah. Apalagi warta yang masih memiliki KTP daerah.” Lantaran itulah, ini yang harus dikawal, jangan sampai prioritas ini dimanfaatkan pihak tertentu, yang mana tidak dijalankan oleh pelaku usaha yang sebenarnya pelaku riil,” timpal Askiah.
Pemerintah, usai menggelontorkan program Dana Desa aja, sudah 11 ribu kira kira kepala desa mendekam masuk bui (penjara)
Irwan Suharto, aktivis gerakan’98 yang turut hadir menjadi salah satu narasumber memaparkan seraya ‘flash back’ krisis ekonomi (Krimon) pada tahun 1997 kala itu melanda Indonesia. Hampir semua sektor industri ‘rubuh’.
Bahkan, sektor Perbankan juga kena imbas beberapa di-likuidasi, ungkapnya.
” Yang hidup ialah UMKM, dan usaha kecil yang merupakan ‘sokoguru’ bangsa ini. Terbukti, UMKM lah yang menyelematkan ekonomi nasional saat itu,” ujar aktivis mantan Ketua BEM di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia.
Kata Irwan yang turut aktif mengawasi program Pemulihan Eknomomi Nasional ini menjelaskan jikalau saat itu tidak diselamatkan oleh Pemerintah. Barang tentu, akan terjadi konflik sosial besar.
” Politik tidak bisa dikendalikan, berujung pada turunnya Soeharto waktu itu,” ujar aktivis gerakan’98 yang sempat terjun di PRD itu menjelaskan.
Ungkapnya tengok saja dewasa ini faktanya, semestinya UMKM dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mayoritas menguasai usahanya sendiri. Akan tetapi, Pedagang makanan, memiliki usaha sendiri. Orang perorang, yang jadi pertanyaan alat produksi para pengusaha tersebut milik siapa ?, lontarnya.
Irwan menjelaskan paham Kapitalisme tidak bisa diterapkan di Indonesia, lantaran alat produksi dimiliki oleh para pemodal. Sementara di satu sisi, ada paham komunis / sosialis di era sebelum tahun 1966 berkehendak agar alat produksi bisa dikuasai kaum Tani dan Buruh.
Kemudian, ungkapnya paham Marheinisme, dimana alat produksi dikuasai tiap tiap orang, agar rakyat berdaulat atas diri sendiri. Konsepsi Marheinisme inilah yang pada 1997, masih ada. Hingga selamat saat itu.
“Hampir tiap orang tidak bisa menguasai alat produksi nya sendiri. Berapa persen petani yang masih memiliki sawah ? Berapa persen nelayan memiliki kapalnya sendiri ?” timpal dia.
” Kita temukan data data , hampir 92% nelayan tidak memiliki kapal kapal. Yang memiliki hanya para tauke tauke. Makanya itu mereka bukan nelayan. Mereka buruh,” bebernya.
Malah, tak jarang penjual ‘pecel lele’ (warung makan) ada boss nya sendiri. Hingga yang jualan, tidak berdaulat atas alat produksi nya. Ketika alat produksi, dimiliki tiap tiap orang. Namun dikuasai oleh sistem transaksinya. Dan negara membiarkan. Ini lebih kejam dari kapitalisme, cetusnya seraya menjelaskan maraknya ojol (ojek online)
Tak pelak, beberapa orang terjerat, terserap dan jadi gojek. Lulusan UI, eks aktivis SMID namanya Garda Sembiring, aktivis lama, tiba tiba saya dengar dia nge GRAB juga kok, tukasnya.
“Dalam program industri nasional, tengok saja hal yang perlu menjadi catatan dan digarisbawahi, ungkap Irwan. Terhadap program Tol Laut, lantaran tanda tangan dengan negri tirai bambu (RRC) yang berbasis pada industri baja dan semen. Lalu, siapa ke depan yang kerja, sementara nelayan bisa kah kerja di pabrik semen dan baja ?” imbuhnya.
Seharusnya, menurut Irwan situasi Indonesia dalam program Pembiayaan usaha kecil di tingkat bawah, harusnya menawarkan agar membangun PMII nasional atau tingkat cabang menawarkan Industri berbasis potensi lokal. Hingga masyarakat bisa ikut di situ.
Pertanian, perkebunan, pariwisata, industri rumahan. Seperti misalnya di Jawa Barat ada potensi perkebunan apa saja. Berapa serapan APBD tiap tahunnnya. Tawaran kita tawaran industri berbasis lokalm apakah Negara support ?
“Mengapa pembiayaan ini tidak dialokasikan ke sana? imbuh Irwan menyarankan.
” Lalu soal PEN saja, bisa overleap dengan BLT nantinya. Ini bukan soal usahanya, namun juga biaya produksinya,” ujarnya mencermati
Padahal, yang bahaya soal muncul nya orang mengaku tiba tiba punya usaha, dan ambil dana tersebut.” Berapapun pemerintah keluarkan uang, namun tidak membantu penguasaan alat produksi. Tetap saja NOL. Rakyat hanya jadi alat saja,” pungkas Irwan menandaskan.
Supriyadi