Pemohon: Syarat Pendidikan Calon Kepala Daerah Minimal Sarjana

JAKARTA, Kompas 1 net– Perseorangan Warga Negara Indonesia bernama Zulferinanda mengujikan syarat pendidikan dan batas usia bagi calon kepala daerah yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 130/PUU-XXII/2024 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ini dilaksanakan pada Senin (30/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e UU Pilkada) menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.”

Bacaan Lainnya

Menurut Pemohon, mensyaratkan tingkat pendidikan calon kepala daerah paling rendah hanya sebatas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat tidak sejalan dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab seorang kepala daerah dalam pandangan Pemohon harus memilliki konsep pemikiran untuk membuat program pengembangan SDM, membangun kemandirian ekonomi di daerah, hingga merumuskan arah kebijakan ekonomi daerahnya.

Apabila hanya berbekal ilmu setingkat SLTA atau sederajat, Pemohon mempertanyakan bagaimana mungkin yang bersangkutan memiliki strategi untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah apabila tidak mengetahui metodologi yang akan diterapkan untuk menggapai hal tersebut. Kendati tidak ada jaminan yang absolut antara jenjang pendidikan dengan sebuah keberhasilan, tetapi setidaknya seorang sarjana mempunyai mindset, perspektif, dan paradigma yang jauh lebih matang. Sebab, sambung Pemohon, seorang sarjana lebih terbiasa menganalisis masalah hingga mencapai suatu titik kesimpulan yang akan dikonversi menjadi sebuah kebijakan jika yang bersangkutan menjadi kepala daerah kelak.

Kemudian mengenai batas usia yang diujikan menurut Pemohon mensyaratkan batasan usia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon kepala daerah ini seakan-akan memberi kesan keberadaan kepala daerah dalam struktur organisasi negara ini tidak begitu penting. Sebab dengan mudahnya melegalkan seseorang yang masih berusia di bawah 30 tahun untuk memimpin daerah kabupaten/kota.

“Jika yang bersangkutan dengan usia segitu hanya lulusan SLTA atau sederajat pula, kira-kira faktor apa yang bisa dijadikan argumentasi untuk tetap memajukannya sebagai calon kepala daerah. Kontribusi seperti apa yang bisa diberikannya untuk daerah yang akan dipimpinnya kelak. Jangankan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, kemampuan yang bersangkutan dalam memimpin sebuah tim besar yang bernama pemerintahan daerah saja masih diragukan. Pengalaman sebanyak dan sehebat apa yang bisa diaplikasikannya ketika menjadi kepala daerah di usia segitu. Integritas seperti apa yang bisa dijanjikannya bila masih belum pernah mengenal godaan dan tekanan dalam menjalankan pemerintahan,” sampai Zulferinanda.

Untuk itu, Pemohon dalam petitum memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu mengubah atau mengganti bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf c tersebut dari “berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat” menjadi “berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat”.

Berikutnya, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga perlu menghapus frasa “25 (dua puluh lima) tahun” pada bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e tersebut sehingga menjadi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.

Kedudukan Hukum

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihat Majelis Sidang Panel mengatakan persoalan yang diujikan Pemohon telah pernah diajukan ke MK dan diputus bahwa menyoal salah satu poin yang didalilkan berupa usia calon kepala daerah telah dinyatakan MK sebagai kewenangan dari pembentuk undang-undang. Untuk itu, mengenai hal ini Pemohon harus benar-benar menjabarkan perbedaan dari permohonannya dengan perkara sebelumnya. “Prinsip ini adalah open legal policy, MK akan bergeser keyakinan apabila benar-benar diuraikan dengan jelas dan kuat disertai dengan dilengkapi dengan argumentasi yang meyakinkan,” jelas Arief.

Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memberikan catatan tentang syarat-syarat kerugian konstitusional yang dialami Pemohon yang resah dan tak ingin memilih calon kepala daerah yang tidak mumpuni. “Bagus juga ini dan memang sudah ada kutipan kerugian konstitusional, tetapi belum ada keterkaitannya dengan kedudukan hukum sebagai Pemohon. Kerugian harus dirangkai apakah bersifat spesifik, aktual, atau potensial dan bukan sekadar klaim saja,” katai Ridwan.

Kemudian Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh sebagai pimpinan sidang memberikan nasihat pada sesi terakhir mengatakan agar Pemohon dapat mengajukan beberapa penjelasan terkait praktik di negara-negara lain terkait usia yang menjadi syarat pengajuan dari kepala daerah atau sejenisnya. “Terhadap petitum juga diharapkan dapat mengikuti kelaziman yang ada dalam petitum yang terdapat dalam ketentuan di MK,” terang Daniel.

Sebelum menutup sidang, Hakim Konstitusi Daniel mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Selanjutnya, naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 14 Oktober 2024 pukul 15.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Setelahnya, MK akan menjadwalkan sidang selanjutnya dengan menginformasikan terlebih dahulu kepada Pemohon.

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: N. Rosi.

Sumber: Humas mkri.go.id

Pos terkait