Pembahasannya, pemilu 2024 akan segera dilaksanakan beberapa minggu ke depan. Ada yang luput, atau dipandang tidak cukup menarik bagi banyak pihak dan pengamat; sikap dan watak para elit politik, partai politik dan masyarakat politik yang bebas nilai (free value).
Alih-alih memunculkan kader terbaik bangsa, partai politik justru mengarahkan siapa anak bangsa yang layak dengan bersaing parameter ultra pragmatis.
Watak bebas nilai dalam Pemilu 2024 kali ini, agaknya menggerus makna demokrasi. Kedaulatan rakyat untuk disejahterakan, telah dihadang oleh praktik praktik tuna-moral; diantaranya sogok menyogok, tidak kritis terhadap Calon Legislatif atau Capres yang terhidang.
Dalam memilih pemimpin, standar nilai dan norma kemanusiaan, kesusilaan, keagamaan dan kepantasan coba dihilangkan para politisi tuna moral yang dimaksud. Rakyat dijejali dengan pikiran sesaat, instan, diikuti dengan doktrin “sogok menyogok hukumnya halal”.
Ijtihad – ijtihad yang ditaja ulama suu’ melambungkan umat dan atau pengikutnya sekadar menjadi subordinasi mendukung calon tertentu, petunjuk Alquran-Hadits dapat dikesampingkan vis a vis kepentingan materialistis. Idealisme Islam mengalahkan fanatisme dan asobiyah (ego kelompok/organisasi). Asalkan anggota kelompoknya menjadi pejabat negara, yang salah tetap dibela. Uangnya digebyah uyah atas nama wakaf, infaq dan shadaqah mahar syurga.
Corak politik yang cenderung mengabaikan sikap kritis, alergi amar makruf nabi mungkar, dan budaya oportunisme ekstrim, bukanlah prinsip Organisasi Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya di Indonesia.
Asketis
Apa yang dipertontonkan kepada rakyat dalam beberapa hari ke depan hingga Februari 2024 adalah prosedur demokrasi dengan perjanjian perjanjian dikurangi artikulasi.
Sah dah, penulis jadi teringat founding father antara lain Mohammad Natsir, Buya Hamka, Syafrudin Prawiranegara atau Sutan Syahril. Bagi tuan tuan berhati mulia kepada bangsa itu, politik adalah tugas pengabdian. Altar pengorbanan tempat harta dan diri dipertaruhkan demi orang lain; rakyat indonesia. Sikap dan perilaku politik asketis (zuhud) tampak jelas dalam ketiadaan waktu dan upaya untuk memperkaya diri. Politik tidak bertujuan untuk menjadikan “tambang emas” para elitnya, dengan kedok pelaku demokrasi dan profesi politik.
Kita tentu ingat baju bertambal Menteri Penerangan M. Natsir, Pemutusan listrik dirumah kontrakan Wapres Bung Hatta dan sederet sikap asketis para elit yang pernah ada di negeri ini.
Kini, dizaman yang sudah melaju ke masa depan, justru anak bangsa disuguhi parade politik apatis moral. Bagaimanakah Indonesia ingin menyandingkan keunggulan kompetitif dengan memanfaatkan kemajuan negara luar dan ASEAN?
Sedangkan definisi negara dan anggaran pendapatan rakyat sudah diidentifikasikan dengan diri mereka sendiri. Aku adalah NEGARA. Negara adalah nama lain dari DIRIKU jua. Apakah ada negara ASEAN dimana APBN dan juga APBD sudah “bertuan” dan “dibagi” sebelum waktunya? Serta jadi alat barter dengan donatur gelap demi kelestarian kekuasaan?
Maka, penjelasannya sudah makin tampak menjelang pemilu tahun ini. Kesuburan alam Indonesia kelak menyuburkan gerakan nasional anti moral bin tuna moral demi konspirasi membajak kekuasaan. Demokrasi dan konstitusi harus direduksi sedemikian rupa agar menjadi mesin cuan dan reproduksi jabatan. Kekayaan dan kemelimpahan yang paling mudah diperoleh melalui kekuasaan dan pemilu. Mereka mati – matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati. Karena hati yang mati, tak terpikir untuk berbekal untuk kehidupan setelah kematian. Bishowwab Wallahualam.
Dikutip dari laman media online satuju.com
Sumber : Dr Elviriadi