Pandangan Eropa, Pengabaian digital: Apakah digitalisasi mengabaikan hak-hak sosial ekonomi?  Oleh: Juliana Santos Wahlgren

Tanpa langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, kesenjangan digital akan terus memperburuk kesenjangan yang ada, semakin meminggirkan mereka yang sudah rentan, tulis Juliana Santos Wahlgren dan Susana Anastácio

Bayangkan menjalani hidup tanpa telepon, komputer, atau koneksi internet. Ketika Anda membayangkan skenario ini, sulitkah membayangkannya?

Bacaan Lainnya

Bagi banyak orang, ini bukanlah skenario hipotetis namun kenyataan pahit.

Di dunia yang semakin digital saat ini, akses terhadap internet dan perangkat digital telah berubah dari sebuah kemewahan menjadi sebuah kebutuhan – dan pergeseran ini sangat terkait dengan hak-hak sosial-ekonomi.

Digitalisasi memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan kita sehari-hari, mulai dari pendidikan dan pekerjaan hingga hubungan sosial dan jangkauan terhadap layanan-layanan penting. Namun, sumber daya digital tidak mudah diakses oleh semua orang.

Di Eropa, kesenjangan digital secara signifikan mencerminkan kesenjangan sosio-ekonomi yang lebih luas: banyak keluarga harus memutuskan antara membayar internet untuk anak-anak mereka atau makan di meja makan.

Kurangnya internet dan perangkat dapat mengecualikan orang dari banyak peluang dan sumber daya: bayangkan tidak mampu membayar tagihan, menghadiri kelas online, atau bahkan melamar pekerjaan karena tidak memiliki komputer atau koneksi internet yang stabil.

Bagi jutaan orang Eropa, skenario ini merupakan perjuangan sehari-hari, sehingga kesenjangan digital tidak hanya menjadi masalah teknologi tetapi juga masalah sosial yang memerlukan perhatian segera.

Dan hal ini membuat kita bertanya: apakah digitalisasi tidak memperhatikan aspek kelas?

Kita perlu memerangi pengabaian digital

Akses terhadap internet dan perangkat digital sama pentingnya dengan hak atas energi atau air bersih. Alat-alat ini bukan lagi sekadar kemudahan; mereka sangat penting untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat.

Mulai dari membayar tagihan secara online hingga mengakses sistem kesejahteraan, tampaknya keberadaan online sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanpa mereka, individu sering kali tertinggal dan kesulitan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.

Pengabaian digital ini merupakan bentuk diskriminasi modern yang secara tidak proporsional berdampak pada rumah tangga berpendapatan rendah.

Mereka yang tidak memiliki akses digital tidak hanya kehilangan hiburan atau kenyamanan—mereka juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan sosial.

Memerangi pengabaian digital berarti memastikan bahwa setiap orang dapat mengakses dan mendapatkan manfaat dari hak yang sama, tanpa memandang pendapatan atau lokasi.

Kemiskinan yang disebabkan oleh digital ini sangat parah bagi kelompok rentan seperti ibu tunggal, tunawisma, mereka yang tinggal di tempat penampungan, orang lanjut usia, dan masyarakat di daerah pedesaan.

Seorang penjual di toko casing ponsel yang terletak di dalam terminal bus di Brasilia, Agustus 2024AP Photo/Eraldo Peres

Tanpa langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, kesenjangan digital akan terus memperburuk kesenjangan yang ada, dan semakin meminggirkan kelompok yang sudah rentan.

Kemiskinan yang disebabkan oleh digital ini sangat parah bagi kelompok rentan seperti ibu tunggal, tunawisma, mereka yang tinggal di tempat penampungan, orang lanjut usia, dan masyarakat di daerah pedesaan. Di daerah pedesaan, infrastruktur digital yang buruk memperburuk masalah, menyebabkan seluruh masyarakat terputus dari dunia digital.

Bagi orang-orang ini, offline bukanlah suatu pilihan: hal ini merupakan konsekuensi dari penghematan ekonomi dan pengucilan yang sistemik. Ketidakmampuan mengakses internet semakin memperburuk kemiskinan, isolasi sosial, dan pengucilan.

Untuk mengatasi masalah ini diperlukan kesadaran bahwa untuk menjamin hak-hak dasar dan masyarakat inklusif, penting untuk mencari solusi di luar platform digital.

Konsep Virginia Eubanks tentang “rumah miskin digital” lebih jauh menyoroti risiko asumsi bahwa teknologi saja dapat menyelesaikan masalah sosial. Dalam analisisnya, alat-alat digital, yang sering kali dikembangkan dengan niat baik, malah justru malah memperparah kesenjangan dibandingkan mengentaskannya.

Misalnya, sistem kesejahteraan yang bergantung pada platform digital mungkin tampak netral, namun sering kali memberikan beban yang tidak proporsional kepada masyarakat miskin, karena sistem ini dibentuk oleh stereotip masyarakat dan ketakutan terhadap perekonomian. Hal ini bukan suatu kebetulan: teknologi penanggulangan kemiskinan mencerminkan dan memperburuk kesenjangan yang ada.

Kurangnya akses digital melanggengkan siklus kemiskinan

Selain itu, peralihan ke masyarakat non-tunai juga memperburuk eksklusi finansial bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap layanan perbankan digital. Banyak transaksi keuangan penting—mulai dari membayar tagihan hingga menerima gaji—semakin banyak dilakukan secara online.

Bagi mereka yang tidak memiliki akses internet atau keterampilan menavigasi perbankan online, mengelola keuangan menjadi latihan yang sulit. Pengecualian keuangan digital ini membuat individu rentan terhadap praktik keuangan predator, tingginya biaya layanan alternatif, dan ketidakmampuan untuk membangun kredit atau tabungan.

Kemiskinan di tempat kerja adalah masalah penting lainnya yang terkait dengan kesenjangan digital. Mereka yang tidak memiliki keterampilan digital sering kali terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah dan sedikit ruang untuk maju.

Ketika industri mengalami otomatisasi dan digitalisasi, pekerja yang tidak memiliki keterampilan yang diperlukan akan tertinggal dan tidak mampu bersaing dalam pasar kerja yang berubah dengan cepat. Hal ini menciptakan kesenjangan yang besar antara mereka yang mampu mengikuti kemajuan teknologi dan mereka yang tidak mampu, sehingga semakin memperparah kesenjangan ekonomi.

Literasi digital kemudian menjadi aspek penting lainnya dalam kesenjangan ini. Memiliki akses terhadap internet saja tidak cukup jika individu tidak mengetahui cara menggunakannya secara efektif.

Dampak ekonomi dari kemiskinan yang disebabkan oleh digital bukan hanya berdampak pada penghidupan individu – namun juga berdampak pada kesehatan perekonomian secara keseluruhan. Mengatasi kesenjangan digital bukan hanya merupakan kebutuhan sosial tetapi juga kebutuhan ekonomi.

Seorang pria menjual ponsel bekas di pasar Colobane Dakar, Februari 2024AP Photo/Sylvain Cherkaoui

Kesenjangan ini sering kali terabaikan, sehingga mengarah pada situasi di mana masyarakat sudah terhubung secara teknis namun masih belum mampu menggunakan sumber daya online, melamar pekerjaan, dan meningkatkan keterampilan dan kompetensi melalui pelatihan. Kurangnya akses dan literasi digital dapat menjebak individu pada pekerjaan bergaji rendah dan tidak tetap, serta melanggengkan siklus kemiskinan.

Oleh karena itu, program literasi digital sangat penting untuk menjembatani kesenjangan ini, memberdayakan individu untuk sepenuhnya terlibat dalam ekosistem ini.

Namun demikian, sistem digital yang dirancang untuk memberikan layanan kesejahteraan seringkali mengecewakan masyarakat yang seharusnya mereka bantu. Sistem otomatis yang menilai kelayakan untuk menerima manfaat dapat salah menilai kebutuhan, sehingga menyebabkan evaluasi tidak memadai atau salah.

Sistem-sistem ini, yang didorong oleh data dan bukan penilaian manusia, mungkin mengabaikan kondisi individu sehingga menghasilkan bantuan yang tidak efektif, yang dapat mengakibatkan tidak adanya akses terhadap perlindungan sosial bagi individu.

Bentuk otomatisasi ini dapat semakin meminggirkan mereka yang sudah mengalami kesulitan, karena mereka harus berjuang melawan hambatan birokrasi dan hambatan digital. Dan jika benar, hal ini membuat kita bertanya-tanya: apakah sistem kesejahteraan digital memang dirancang diskriminatif?

Tidak ada akses digital, tidak ada martabat

Dampak ekonomi dari kemiskinan yang disebabkan oleh digital bukan hanya berdampak pada penghidupan individu – namun juga berdampak pada kesehatan perekonomian secara keseluruhan. Mengatasi kesenjangan digital bukan hanya merupakan kebutuhan sosial tetapi juga kebutuhan ekonomi.

Kemiskinan memerlukan pendekatan multidimensi yang lebih dari sekadar menyediakan akses dan perangkat internet.

Untuk menciptakan masyarakat digital yang benar-benar inklusif, upaya harus fokus pada memastikan bahwa semua individu memiliki alat, keterampilan, dan peluang untuk terlibat secara bermakna dengan dunia digital, tetapi lebih dari itu: sangat penting untuk mendapatkan layanan, pilihan, dan alternatif secara langsung. solusi demokratisuntuk mengangkat hak-hak dasar.

Hal ini melibatkan perubahan di tingkat kebijakan dan inisiatif berbasis masyarakat yang memprioritaskan inklusi sosial sebagai hak prerogatif bersama. Hanya melalui strategi yang komprehensif dan inklusif kita dapat mengatasi kesenjangan yang mengakar yang terus memecah belah masyarakat kita.

Jika tidak ada akses terhadap alternatif digital atau offline, maka tidak ada martabat individu. Tidak ada seorang pun yang terlindungi sampai kita semua terlindungi.

Juliana Santos Wahlgren adalah Direktur, dan Susana Anastácio adalah Pejabat Komunikasi Senior di European Anti-Poverty Network (EAPN).

Source: Euronews

 

 

Pos terkait