oleh: H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum (Ketua Kamar Pengawasan MA)
Pengantar
Mahkamah Agung pada tahun ini menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perma 1/2024 dibuat untuk mengakomodir kebutuhan praktik peradilan dalam menangani perkara pidana yang bermuara pada perdamaian antara korban dan pelaku dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.
Keadilan Restoratif didefinisikan dalam Pema 1/2024 sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan. Hal ini berarti menggeser tujuan pemidanaan berupa pembalasan yang dalam khasanah teoritis dikenal sebagai teori absolut atau teori retributive menjadi upaya memulihkan korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan/atau masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban terdakwa dan menghindarkan setiap orang, khususnya anak, dari perampasan kemerdekaan.
Selama ini keadilan restoratif telah dilakukan di pengadilan dalam perkara anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan mekanisme yang tersistematis dalam hukum acara pidana yang khusus sedangkan bagi pelaku tindak pidana “dewasa” keadilan restoratif juga telah dilakukan sejak lama namun belum memiliki pedoman yang sama mengenai jenis perkara yang dapat dilakuan keadilan restoratif, syarat-syarat terhadap perkara yang dapat dilakukan keadilan restoratif dan tata cara penerapannya sehingga kerap menyebabkan disparitas dalam putusan-putusan hakim yang berdampak pada tidak terciptanya unifikasi hukum. Sejumlah isu terhadap hal-hal tersebut dijawab oleh Mahkamah Agung melalui Perma 1/2024.
Praktik Peradilan dan Pembaruan Keadilan Restoratif
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Mahkamah Agung pada tahun 2021 dengan judul “Kajian Restorative Justice Dari Perspektif Filosofis, Normatif, Praktik dan Persepsi Hakim”, ditemukan adanya berbagai macam putusan hakim terhadap penerapan keadilan restoratif yakni diantaranya Restorative Justice sebagai dasar peringanan pidana penjara, Restorative Justice sebagai dasar pidana percobaan, Restorative Justice sebagai dasar penjatuhan pidana denda, Restorative Justice sebagai dasar pengembalian kepada orang tua, Restorative Justice sebagai dasar putusan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), Restorative Justice sebagai dasar putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), dan Restorative Justice sebagai dasar peniadaan pidana.
Berbagai putusan tersebut memiliki ratio decidendi yang bersandar pada penilaian hakim terhadap hubungan hukum antara pelaku dan korban serta penafsiran hakim terhadap tujuan pemidanaan yang dikaitkan dengan hukum acara pidana. Namun melalui Perma 1/2024, Mahkamah Agung memberikan pedoman, agar bentuk putusan hakim berupa peringanan pidana penjara atau penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan apabila terjadi “kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana” sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (1) Perma 1/2024.
Norma dalam Pasal 19 ayat (1) Perma 1/2024 tersebut menjadi bagian yang lama diperdebatkan dalam diskursus pembahasan oleh kelompok kerja yang ditetapkan oleh Ketua Mahkakamah Agung berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 238/KMA/SK/XI/2021 tentang Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Penanganan Perkara Berdasarkan Prinsip Keadilan Restoratif. Hal tersebut karena keberlakukan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengenai kualifikasi putusan bebas, Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengenai kualifikasi putusan lepas dan Pasal 193 ayat (3) KUHAP mengenai penjatuhan pidana sehingga apabila perbuatan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan maka pilihan hakim dalam putusan berupa menjatuhkan pidana.
Berbeda dengan yang kewenangan yang dimiliki pada tingkat penyidikan berupa penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf i KUHAP dan pada tingkat penuntut umum berupa penghentian penututan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP kecuali bagi anak yang berhadapan dengan hukum hakim dapat mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan setelah kesepakatan diversi dilaksanakan sepenuhnya.
Penegasan Perma 1/2024 dalam menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 193 ayat (3) KUHAP ialah agar hakim menjatuhkan putusan yang lebih ringan dari ancaman maksimal pasal yang didakwakan maupun lebih ringan dari tuntutan penuntut umum atau menjatuhkan putusan berupa pidana bersyarat/ pengawasan dengan syarat umum : tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan terdakwa layak untuk dipidana dengan pidana bersyarat/pengawasan serta terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan.
Perma 1/2024 memberikan pengaturan soal jenis perkara yang dapat dilakukan proses keadilan restoratif di dalam Pasal 6 ayat (1) yakni a). tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat, b). tindak pidana merupakan delik aduan, c). tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun, d). tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil atau e.) tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. Pengaturan jenis perkara ini untuk memberikan ruang secara khusus dalam menangani perkara dengan kualifikasi di bawah syarat diversi dalam SPPA dan sebagian lainnya bersesuaian dengan pelaksanaan keadilan restorative di kejaksaan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Sebagian kalangan menganggap keadilan restoratif hanya akan menguntungkan para pelaku yang mampu secara finansial tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap korban tindak pidana namun hal tersebut terbantahkan dengan keberlakuan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perma 1/2024 yang menentukan bahwa “Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal : korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian, terdapat Relasi Kuasa; atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Misalnya terdapat tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan yang memenuhi syarat keadilan restoratif namun penganiayaan tersebut dilakukan oleh seorang manajer kepada staf pada suatu perusahaan sehingga terjadi relasi kuasa dimana kedudukan manajer lebih superior yang berpotensi mengancam keberlanjutan karir korban diperusahaan. Pada kondisi yang demikian ini, maka hakim mesti memastikan apakah korban bersedia melakukan upaya perdamaian atas dasar penerimaan/kehendak sendiri atau justru dilakukan atas dasar kekhawatiran masa depannya pada perusahaan tersebut.
Ada pula anggapan soal pengulangan upaya keadilan restoratif terhadap perkara anak yang gagal dilakukan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d. Pembentukan norma tersebut dimaksudkan agar mengoptimalkan penjatuhan pidana bersyarat bagi anak berupa : 1). pembinaan di luar lembaga, 2). pelayanan Masyarakat, atau 3). pengawasan. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun dengan syarat umum : anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat dan syarat khusus : untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak sebagaimana dimaksud Pasal 73 UUSPPA.
Pencatatan Perkara Keadilan Restoratif
Pada bagian lainnya, Ketentuan Pasal 21 Perma 1/2024 memberikan kewajiban kepada para hakim, “Dalam hal mekanisme Keadilan Restoratif yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung ini diterapkan, Hakim mencantumkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya”. Ketentuan ini dimaksud agar peradilan mampu mengindentifikasi putusan-putusan hakim yang berhasil menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
Saat ini, Mahkamah Agung hanya dapat mempublikasikan keberhasilan keadilan restoratif terhadap perkara anak sebagaimana dimaksud dalam SPPA, padahal dalam banyak putusan lainnya hakim telah menerapkan keadilan restoratif. Pada Kepolisian RI, keberhasilan keadilan restoratif ditingkat penyidikan yang dipublikasikan sebanyak 18.175 perkara pada tahun 2023 dan pada Kejaksaan RI dengan keberhasilan sebanyak 2.407 perkara pada tahun 2023 sedangkan Mahkamah Agung hanya dapat mempublikaskan keberhasilan keadilan restoratif dalam diversi perkara anak sebanyak 464 perkara sehingga dengan berlakunya Pasal 21 Perma 1/2024 diharapkan Mahkamah Agung pada tahun 2024 dapat memetakan keberhasilan penggunaan keadilan restoratif pada lingkungan peradilan umum, mahkamah syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama dan lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Perma 1/2024.
Sumber MA go id