MEMBANGUN MARWAH BANGSA

Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam kolom opini Riau Pos pada hari Selasa 8 Mei 2012.  Berhubung era itu masa transisi teknologi elekronik menuju digital, artikel tersebut tidak dapat diakses lagi. Oleh itu penulis ingin orbitkan kembali agar dapat disimak oleh sidang  pembaca karena pesan-pesan yang terkandung didalamnya kiranya masih relevan dengan kebutuhan rohani kita hari ini.

Secara ontologis paling mendasar penyebab keterpurukan bangsa ini adalah karena kebenaran sudah tidak dipandang lagi sebagai pakaian hati budaya diri.

Bacaan Lainnya

Hari ini kebenaran bagai dipandang serong, senget, ketinggalan zaman, lamban dan tidak seksi.

Bahkan lebih tragis sesetengah kelompok melihat kebenaran sebagai ancaman, karena takut satu waktu nanti pihak kebenaran akan membongkar atau mengungkit  kedok kesalahannya.

Karena itu, upaya sikut-menyikut, jatuh-menjatuhkan, buruk-memburukkan, curang-mencurangi dan segala macam bentuk permusuhan terus berlanjut secara sadar atau tidak, seolah tiada kata kalau bisa dizalimi kenapa tidak?

Akibat daripada itu, sesetengah rakyat pun yang berani, akan mengikuti trend dan trick jitu tersebut. Mereka memainkan peran mereka, menyabet apa  yang bisa disabet, menyikut apa yang bisa disikut, disekitar lingkungan dimana mereka berada.

Sehingga tugas utama para pemegang amanah pun tergerus bukan lagi pada pemikiran upaya mewujudkan cita-cita luhur bangsa, menyelesaikan masalah inti rakyat, memajukan negara dalam arti sesungguhnya.

Dampak politik hedonis parsial semacam ini animo rakyat pun terbawa arus. Sehingga melahirkan paham terbalik bahwa yang pintar dan bijak itu adalah orang yang bisa menghalalkan segala cara, memutarbalikkan fakta, menjatuhkan orang yang benar dan membenarkan orang yang salah.

Tetapi sudah berubah pada orientasi bagaimana mengekalkan kekuasaan, kepentingan politik dalam arti sempit, bentuk dinasti warisan dan titipan, raup keuntungan jabatan, memperkaya diri dan kroni.

Di kantor, perusahaan, terminal, pelabuhan, pasar dan diberbagai sektor dimana ada bola atom ketidakbenaran itu.

Dari gambaran bentuk-bentuk ketidakharmonisan perhubungan ini, akan terus berlanjut menjadi sebuah pemicu jatuhnya marwah bangsa di mata dunia.

Akhirnya, jiwa permusuhan pun timbul antara kelompok yang satu dengan yang lain, antara partai yang satu dengan yang lain, antara penduduk pulau yang satu dengan yang lain, antara etnik yang satu dengan yang lain. Bahkan bisa menjurus antara pusat dan daerah maupun rakyat dengan pemerintah.

Perintis kemerdekaan dan kebangkitan nasional bagi bangsa-bangsa terjajah di benua asia dan afrika dari segi ketokohannya.

Singa tidur asia dari segi potensi sumber daya manusia. Raksasa ekonomi dari segi potensi kekayaan alam.

Sehingga hari demi hari makin tak dihargai, bulan demi bulan makin tak disegani. Padahal dahulu pada dekade awal kemerdekaan, bangsa ini dianggap mercusuar empayer peradaban dunia ketiga.

Ingat konferensi asia afrika di Bandung April 1955, yang dihadiri 29 negara adalah cikal bakal lahirnya gerakan negara-negara non blok yang berjumlah tidak kurang dari 120 negara.

Tapi hari ini malang, negeri ini hanya dianggap bagai keluarga besar yang punya lahan luas tapi tak mampu mengolah dan memberdayakan nya, hingga belakangan hanya  diberi orang lain untuk mengolah, kononnya kita hanya dapat fee atau bagi hasil?!

Yang kedua, disebut juga bagai keluarga banyak anak, tapi orangtua tak mampu mengurus, sehingga anak-anaknya pergi mengais rezeki ke negeri jiran tetangga, lalu merasa sudah  bernasib baik walau ditekan gaji minimumnya.

Begitulah naifnya gambaran situasional kebangsaan sebagai bukti stress nasional berkepanjangan, tanpa titik temu solusi pencerahan.

Hingga satu dekade terakhir, hari-hari yang kita dengar dan saksikan adalah berita-berita korupsi yang terus bergentayangan tanpa jeda.

Fenomena kesedihan dan kepiluan nasional sedemikian akan terus mendera dan melemahkan eksistensialis bangsa, sehingga semakin tidak ada nyali untuk bela diri dari ancaman eksternal bahkan internal sekalipun.

 Keutuhan negara dirongrong tak penting, kedaulatan rakyat digadaikan tak peduli. Pulau diserobot tak jadi soal. Wasit nasional dianiaya tak apa, hingga para pekerja dijadikan mangsa penjualan organ tak masalah dan para pembantu rumah tangga disetrika bukan urusan serta para TKW diprostitusikan tak kesah.

Kalau situasional seperti ini, tidak segera diatasi, maka entah apa lagi tragedi kejatuhan dan kebinasaan negeri dan negara bangsa akan menyusul?!

Teguran alam malapetaka sudah begitu banyak, dari gempa bumi hingga tanah longsor, sampai tsunami dan lumpur panas. Semuanya menunggu susulan andai kita terus mempersenda kebenaran.

Untuk itu, sebelum terlambat. Melalui momentum revolusi hati kembali kami seru segenap lapisan komponen anak bangsa, khususnya para stakeholder pemegang amanah negeri dan negara, agar segera kembali ke pangkal jalan, luruskan barisan perjuangan.

 Ingatlah ucapan para the founding father republik ini masih menggema “kutitipkan negeri ini padamu…” jangan kita arti sempitkan dan jangan kita khianati.

Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Punya sumber daya dan kekuatan yang luar biasa.

Andai kita hidupkan kembali ruh mata rantai perjuangan dan semangat para pahlawan dalam merebut kemerdekaan, kita internalisasikan dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan luhur berkelanjutan adalah amanat kemerdekaan.

Suksesi kepemimpinan bukan sebagai tujuan atau maksud tertinggi yang ingin diperebutkan dengan segala pengerahan tenaga dan biaya.

 Jumlah penduduk yang banyak jangan jadikan sebagai bebanan batu sandungan, tapi jadikan mereka sebagai mitra kekuatan yang bisa diberdayakan.

Tetapi wujudkan cita-cita luhur bangsa adalah sasaran perjuangan utama.

Pesta demokrasi bukan sebuah puncak perhelatan habis-habisan, namun mengemban amanat penderitaan rakyat adalah tugas tumpuan.

Ragam suku bangsa, etnik dan kepercayaan adalah bunga rampai kekayaan budaya tidak menghalang menuju kejayaan dan kebesaran.

 Begitu juga luas wilayah, hamparan pulau dan  laut jangan pernah jadikan alasan terlalu susah untuk diurus, yakinlah kalau pakaian kebenaran telah dikenakan dua pertiga belahan bumipun bisa diatur insyaAllloh. ***

M. Sangap Siregar, MA adalah Dosen Universitas Hang Tuah Pekanbaru

Riau

 

Pos terkait