Kekerasan di Pesantren Melonjak Tahun 2024, Butuh Solusi Tuntas Islam Kaffah

Kasus kekerasan makin memprihatinkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 yang menunjukkan sebanyak 36 persen atau 206 kasus terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, dengan rincian di madrasah sebanyak 16 persen atau 92 kasus dan pesantren sebanyak 20 persen atau 114 kasus. Dan jika melihat dari lokasi kejadian, sekolah berasrama dan pesantren terdapat 15 persen atau 86 kasus kekerasan yang terjadi di dalam asrama atau pesantren.

Merespon kasus kekerasan di pesantren, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kini telah membentuk tim satuan tugas (satgas) yang diisi oleh unsur syuriyah dan tanfidziyah. Ketua PBNU KH Ulil Abdhar Abdallah (Gus Ulil) yang merupakan salah satu anggota tim satgas menyampaikan bahwa PBNU akan ikut membantu menangani kasus kekerasan yang terjadi di pesantren.

Bacaan Lainnya

Begitu juga pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah meluncurkan regulasi pengasuhan ramah anak di pesantren melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 1262 Tahun 2024.
Regulasi tersebut merupakan petunjuk teknis (Juknis) yang disusun bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), para pengasuh pesantren, akademisi dan praktisi anak yang berisi tujuh bab. Juknis ini berisi tentang Pengasuhan Pesantren yang Ramah Anak; Tata Cara Pengasuhan di Pesantren; Tata Cara Perlindungan Anak dalam Pengasuhan; Sumber Daya Pendukung dan Pemantauan, Evaluasi, dan Laporan.

Peristiwa kekerasan dalam lingkungan sekolah bukanlah suatu hal yang baru, baik itu terjadi di beberapa sekolah negeri dan swasta, bahkan berskala international. Artinya, tindakan kekerasan rentan terjadi di berbagai lingkungan sekolah tak terkecuali pondok pesantren.

Pesantren pun menjadi sorotan tajam masyarakat. Hilangnya nyawa santri, pelecehan seksual akibat mengalami tindakan kekerasan diduga karena menegakkan kedisiplinan dalam pesantren.

Adanya kekerasan di pesantren merupakan realitas, namun menjadikan pesantren tumpuan kesalahan hingga kasus-kasus kekerasan tersebut kini dapat dianggap sebagai bencana nasional, maka kurang bijak.
Pesantren tetaplah menjadi harapan umat Islam untuk menjadi lembaga pendidikan yang bisa memahamkan anak dengan pemahaman agama, apalagi di tengah penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, butuh memahami akar dari persoalan kekerasan ini secara mendasar dan menyeluruh, sehingga bisa terselesaikan secara tuntas.

Pesantren dalam Arus Kerusakan Sekularisme Kapitalisme

Pesantren menjadi lembaga pendidikan yang tidak bisa lepas dari penerapan sistem sekularisme yang diemban oleh sistem kapitalisme. Dengan diterapkannya sistem sekuler kapitalisme ini, menjadikan pesantren berada dalam arus sistem yang telah lama diadopsi dan terus menghasilkan berbagai kerusakan serta masalah.

Publik harus melihat dengan jeli akar permasalahan kekerasan di lingkungan pesantren tidak lepas dari akar persoalan yakni penerapan sistem sekularisme kapitalisme.

Menyikapi persoalan ini harus objektif. Jangan menyatakan, “Sebaiknya tidak mengirimkan anak belajar di pondok pesantren, di sana pun terjadi tindakan kekerasan.” Ini karena pesantren dalam pusaran arus sekularisasi sehingga mengalami ketidakberdayaan. Lingkungan sistem yang kapitalisme menciptakan kekerasan di tengah tengah masyarakat baik lingkungan keluarga dan gempuran media massa khususnya sosial media.

Apalagi negara tidak selektif terhadap segala budaya dan tsaqafah yang masuk ke tengah masyarakat. Tentu hal ini akan berbuntut pada terjadinya kerusakan di tengah kehidupan anak, baik kerusakan moral, akhlak, pendidikan, agama, keluarga, dan lainnya. Kalau kita menguraikan penyebab utama terjadinya kekerasan dalam lembaga pendidikan.

Pertama, negara belum memberi regulasi mencegah kekerasan. Kedua, lingkungan dan media yang penuh kekerasan. Ketiga, sekolah dan kurikulum belum mampu mencegah kekerasan. Keempat, sistem sanksi yang tidak mampu membuat efek jera.

Oleh sebab itu, solusi-solusi yang saat ini ditawarkan belum teruji dan tidak mampu memutus rantai persoalan, bahkan terbukti mandul dalam menghentikan kekerasan pada anak/pelajar. Apabila sistem sekuler yang berjalan saat ini terbukti hanya melahirkan maraknya kekerasan terhadap anak, selayaknya sistem ini dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat yang mayoritas muslim ini.

Butuh Solusi Sistemis dengan Islam Kaffah

Solusi kekerasan oleh santri ini butuh solusi sistemis, yakni penyelesaian dengan penerapan syariat Islam kafah (menyeluruh).

Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas berpikir dan beramal bagi seluruh pihak, baik santri, orang tua, masyarakat, maupun negara. Harus mengubah sistem sekuler (dikotomi pendidikan) ke sistem pendidikan dengan metode belajar

Talqiyan-fikriyan-muatsaran, yaitu proses menjadikan ilmu menjadi pemahaman dengan proses berpikir, bukan sekadar dihafalkan. Dengan metode ini, belajar akan berpengaruh ke dalam jiwa sehingga mendorong untuk diamalkan. Ini karena Islam bukan hanya teori, melainkan untuk diamalkan.

Negara mewujudkan media massa, termasuk media digital yang menciptakan keimanan dan ketakwaan, menyebarkan kemuliaan dan kejayaan Islam serta konten yang membawa kebaikan manusia. Adanya sanksi dalam proses belajar, sebagaimana hadis Nabi saw.,

“Pukullah jika tidak mengerjakan salat pada usia 10 tahun,” merupakan pemberian pukulan mendidik, bukan dalam rangka menyakiti.

Kedua, penerapan sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir, yaitu mencegah dan memberi efek jera. Dalam Islam terdapat sanksi tegas, di antaranya dijelaskan dalam QS Al-Baqarah: 178—179, yaitu berupa jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan yang mewajibkan kisas (balasan setimpal) atau diat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.

Maksud dari jinayah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS Al-Baqarah: 178).

Meski terdapat dorongan dan motivasi untuk memberi maaf, tetapi setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan sebab ancaman pidananya sangat berat, yaitu kisas ataupun diyat yang nilainya besar.

Riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash menyatakan, “Untuk pembunuhan seperti sengaja [diyatnya adalah] sebesar 100 ekor unta yang 40 ekor di antaranya adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan, diyat tersebut dapat mencapai miliaran rupiah.

Untuk itu, agar dapat menyelesaikan kekerasan oleh santri secara serius, jalan satu-satunya adalah dengan menerapkan syariat Islam oleh individu santri, keluarga (orang tua), dan sekolah (masyarakat). Untuk mewujudkan ini semua, butuh sistem yang kondusif, yakni Khilafah Islam.

Begitu juga dengan mubalighah harus terus berperan aktif untuk mencerdaskan umat tentang urgensi nya kita memperjuangkan tegaknya Khilafah. Tanpa Khilafah, umat ini akan terus menderita, termasuk dunia pendidikan kita saat ini. Ketakwaan menjadi barang mahal dalam sistem hari ini. Seharusnya pesantren adalah harapan umat untuk mencetak generasi peradaban yang akan menjaga Islam dan umatnya.

Tanggal. 24 Januari 2025
Oleh . Hj.padliyati siregar ST.
Dilansir dari. Https//suara mubalighah.com

Tores**

Pos terkait