Sesekali menyentuh orang lain dengan akal, sesekali juga bisa dicoba memikirkan orang lain itu dengan hati. Konon cerita cara seperti ini adalah bagian dari lelaku kaum sufi dan mereka yang asyik berjalan do lorong spiritual.
Karena untuk memahami logika berpikir seperti itu mentok di ruang akademik, maka itu mereka cuma bisa mengajak mendengar bisik dari langit yang acap membuat dunia tergoncang, bahkan tercengang karena memang tak ada dalam bilangan matematis yang bisa terbilang kepastiannya. Bahkan nyaris tak pernah bisa untuk diterka sebelum takdir maupun karna itu datang dan melantak kepongahan siapa saja dengan cara dan langgamnya yang unik itu.
Mereka yang bijak pun cuma mampu merumuskannya dalam istilah misteri, rahasia Tuhan yang tidak mungkin terjemah oleh keangkuhan yang tidak merunduk ramah dan takzim, penuh etika, moral serta akhlak yang tidak terkalkulasikan. Bahkan terkadang bisa lebih menyesatkan, seperti melihat terang dalam kegelapan.
Maka itu do’a syukur terus ditiupkan memenuhi angkasa, membungkus bumi biar tak menggoda birahi rakus dan tamak, seperti yang sedang terus kerkecambah dan beranak-pinak di kampung kami yang kau anggap ghaib dan terkadang sungguh sangat menakjubkan, tak hanya bagi kalian, tetapi juga bagi warga kampung kami sendiri.
Inilah catatan yang bisa kutulis sebagai bagian dari kesaksian yang mungkin kelak — atau bahkan pada hari ini pun — sudah kalian lupakan.
Banjir dam gempa seperti gending Jawa yang bertalu saling bersamaan membuat harmoni lagu kehidupan semakin nyata dalam bingkai lukisan abstrak yang belum selesai. Tapi, toh semua itu telah bergelantungan di dinding rumah tinggal keluarga yang terkesan makin tak terurus jejak lapaknya.
Bersit cercah sinar yang cerah selintas semburat dari Timur mencorong ke Barat. Semua orang paham, meski tak mampu menerjemahkan dengan bahasa bumi dan langit sekalipun yang pernah di surau yang kini telah dilupakan banyak orang, termasuk penghulunya dulu yang merasa paling bertanggung jawab di dunia maupun sampai akhirat.
Narasi prosa lirik ini atau yang acap disebut agak genit dan latah sebagai puisi esai ini, keterima dari seorang kawan penulis yang ada diseberang sana. Aku pun lupa, siapa namanya. Meski gaya dan nada tutur katanya sangat kekenal dan tak mungkin kelurahan, seperti kefanaannya diriku sendiri.
Banten, 13 Oktober 2022
Catatan kaki :
Judul Sepotong Puisi Dari Seorang Kawan Yang Belum Selesai ini, saya pastikan karena dibuat dalam rasa cemas dan segenap rasa ketergesa-gesaan pula yang amat sanfat memaksa agar bisa kuterima sebelum ulang tahun emas pada tahun 2024.
Sebab sejak hari ini — menjelang dan menyongsong tahun emas itu — ia menduga banyak hal bisa melupakan hari kebahagiaanku yang dia bayangkan melebihi kebungahan hati ketika bisa menyelesaikan penerbitan buku yang kelak akan menjadi penghias batu nisan itu kelak. Ketika kangen dan rindu yang mungkin bisa terselit saat berdo’a ziarah harus dan patut dilakukan untuk keseimbangan bumi dan langit agar tak terus berseteru.***