Warga berjalan di depan spanduk sosialisasi larangan judi online di Kantor Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Kompas 1 net – Pesatnya perkembangan teknologi digital memberi banyak kemudahan, namun juga meningkatkan risiko anak-anak terjerumus dalam judi online. Dengan penetrasi internet yang tinggi di kalangan generasi muda Indonesia, pengawasan ketat dan peran aktif orang tua menjadi sangat penting untuk melindungi calon generasi emas dari bahaya ini.
Salah satu ciri khas dari era milenium adalah pesatnya perkembangan teknologi digital dengan segala bentuk produk turunannya. Pada satu sisi, teknologi berbasis internet ini memberi banyak kemudahan bagi masyarakat kendati di sisi lain terselip bayang-bayang mengintai terutama bagi anak-anak selaku calon generasi emas Indonesia.
Berkaca dari survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2023, diketahui bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 79,5 persen dari total penduduk Indonesia yang sebesar 279,3 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Penetrasi internet cukup besar disumbang oleh kelompok generasi Z atau mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 yaitu sebesar 87,02 persen.
Angka lumayan tinggi juga turut disumbang oleh generasi post-Z atau mereka yang lahir setelah 2013 yakni dengan penetrasi sebesar 48,10 persen. Mereka umumnya menghabiskan 97 persen waktunya berselancar di dunia maya menggunakan gawai seperti telepon seluler (ponsel) pintar (smartphone). Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang singgah di situs-situs judi online.
Ini dapat terjadi karena situs-situs tersebut tak pernah memberikan persyaratan ketat layaknya seseorang akan masuk ke rumah judi atau kasino, misalnya harus berusia minimal 21 tahun. Judi online sendiri telah menjadi masalah besar yang sedang diperangi oleh pemerintah saat ini. Sebab, melansir data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), ada sekitar 2,37 juta penduduk Indonesia dari berbagai strata sosial mulai rakyat jelata hingga politisi di parlemen, terjerumus dalam judi online.
PPATK mencatat, nilai transaksi keuangan mencurigakan, terutama terkait dengan judi online, telah mencapai lebih dari Rp600 triliun pada kuartal pertama 2024. Angka ini setara 20 persen dari APBN. Sebanyak 80 persen dari 2,37 juta masyarakat yang bermain judi online melakukan transaksi rata-rata Rp100 ribu. Sejak 2022, PPATK mendeteksi 5.000 rekening bank terkait judi online dan berakhir dengan pemblokiran.
Pada kenyataannya, di balik kengerian terhadap judi online sebagai sebuah kejahatan luar biasa, terkuak data miris bahwa terdapat hampir 500.000 anak-anak Indonesia berstatus pelajar dan mahasiswa terseret di dalamnya. Kepala Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online sekaligus Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Hadi Tjahjanto menyebut, sekitar 2 persen dari pemain judi online adalah di bawah umur atau kurang dari 10 tahun, jumlahnya 47.400 orang. Sedangkan antara 10–20 tahun sekitar 440.000 orang.
Oleh sebab itu, aktivitas anak-anak harus mulai diawasi sejak sekarang terutama di lingkungan sekitarnya agar tak terjerumus dalam judi online. Hal tersebut telah dicantumkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Orang tua memegang peranan penting dalam upaya perlindungan anak. Bukan saja terhadap tindak kekerasan atau perundungan, anak-anak juga harus dilindungi dari kecanduan judi online. Kendati demikian, perilaku anak-anak terjerumus pada judi online tak lepas oleh pengaruh orang tua mereka.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mencatat, dalam tiga tahun terakhir, faktor relasi kuasa jadi salah satu penyebab permasalahan perlindungan anak. Dalam hal ini, orang tua memiliki kuasa terhadap perilaku anaknya. “Ini yang kita sebut membunuh perlindungan anak kita, ada orang tua yang penjudi, kita belum tahu apakah anaknya ikut diajak membuka rekening judi, atau anaknya diajak untuk menampung uang judi,” kata Jasra seperti dilansir Antara.
Padahal, anak-anak harus dipenuhi hak dasarnya seperti hak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya, serta perlindungan khusus anak. Jika pemenuhan hak anak gagal dilakukan keluarga, maka pengasuhan anak akan direbut oleh lingkungannya sehingga terjerumus kepada industri candu, yakni narkotika, judi, pornografi, hingga gim.
Dosen Ilmu Psikologi Universitas Tarumanagara Debora Basaria menjelaskan, fase remaja dimulai dari usia 10–13 tahun dan berakhir di usia 18–22 tahun. Dalam fase tersebut, remaja cenderung menunjukkan perilaku impulsif seperti bertindak tanpa perencanaan dan memikirkan konsekuensinya, serta cenderung mencari pengalaman baru. Perilaku impulsif itu seyogyanya wajar jika terjadi terhadap para remaja, tetapi kewajaran itu perlu ada batasnya jika tindakan mengarah kepada aktivitas yang berisiko seperti judi online.
Kecanduan judi online pada anak-anak memunculkan tindakan mengarah kriminalitas seperti pencurian guna mendapatkan uang dengan cara mudah. Berdasarkan hasil risetnya, Debora menemukan fakta bahwa remaja dalam tingkatan parah dalam judi online memiliki kesenangan dramatis untuk memenangkan gim. Alhasil, individu tersebut memiliki fantasi untuk selalu ingin menang dengan terus-menerus berjudi dan menghabiskan uang guna memenuhi hasrat berjudinya.
Peran keluarga serta orang-orang terdekat serta lingkungan sekitar menjadi faktor terpenting guna menyelamatkan buyung dan upik dari bahaya laten judi online yang dapat merusak calon generasi emas Indonesia. Masyarakat pun tidak boleh abai dan sebisa mungkin mengetahui kondisi kesejahteraan di antara tetangganya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari
Source:dikutip dari laman Indonesia.go id