Kompas 1 Net – Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM pada Selasa, 26/10/2010 mulai melakukan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Hadir dalam sosialisasi tersebut sebagai pembicara antara lain Dr.Yunus Husein,S.H.,L.LM., Sedangkan sebagai pembahas antara lain Dr.Ramelan, SH, MH dan Dr. Mualimin Abdi, S.H.,M.H. sebagai moderator. Peserta Sosialisasi meliputi berbagai kalangan antara lain Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Lembaga Donor, Kalangan Industri, Pengusaha/Perbankan dan para Akademisi.
Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana.
Berdasarkan pengalaman bahwa praktek yang biasa dilakukan di dalam sistem peradilan yakni mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara dengan membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana serta memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan, ternyata out- put yang dihasilkan dengan melakukan praktek yang demikan belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita serta merampas hasil dan instrumen tindak pidananya.
Pada saat ini bentuk-bentuk kejahatan telah berkembang diantaranya dengan adanya kejahatan yang terorganisir yang disebut praktek konspirasi atau organized crime. Bentuk kejahatan ini selain melibatkan sekumpulan orang yang mempunyai keahlian di dalam melaksanakan tindak pidana juga didukung oleh beragam instrumen tindak pidana sehingga mereka bisa menghimpun hasil tindak pidana dalam jumlah yang sangat besar.
Upaya untuk melumpuhkan bentuk kejahatan seperti ini hanya akan efektif jika pelaku tindak pidana ditemukan dan dihukum serta hasil dan instrumen tindak pidananya disita dan dirampas oleh negara.
Beberapa ketentuan pidana sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Namun demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana dapat dibuktikan kejahatannya di pengadilan secara sah dan meyakinkan publik benar melakukan tindak pidana. Sementara di sisi lain terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakkan seperti itu misalnya tidak ditemukannya pelaku atau boleh jadi meninggalnya terpidana yang prosesnya sedang berjalan atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebab-sebab lainnya.
Selain hal tersebut di atas, upaya untuk menekan kejahatan dengan mengandalkan penggunaan ketentuan-ketentuan pidana juga menghadapi kendala lain, dimana terdapat beberapa tindak pidana atau pelanggaran hukum yang tidak dapat dituntut dengan menggunakan ketentuan-ketentuan pidana. Sebagai contoh, pada saat ini perbuatan melawan hukum materil yang mengakibatkan kerugian kepada negara tentu tidak bisa dituntut dengan ketentuan tindak pidana korupsi.
Pada saat ini perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan, bahwa penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Selain mengungkap tindak pidana dan menemukan pelakunya, penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian utama dari penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Selain itu dalam rangka memperkuat ketentuan-ketentuan pidana yang sudah ada, beberapa negara mengadopsi ketentuan-ketentuan yang berasal dari ketentuan-ketentuan perdata untuk menuntut pengembalian hasil tindak pidana. Penuntutan secara perdata tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari upaya penuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Berdasarkan pengalaman yang ada, penerapan pendekatan seperti ini di sejumlah negara terbukti efektif dalam hal meningkatkan nilai hasil tindak pidana yang dapat dirampas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terlihat adanya kebutuhan untuk merekonstruksi sistem hukum pidana dengan mengatur mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana di dalam suatu undang-undang. Pengaturan tersebut selain harus komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain serta sejalan dengan norma yang berlaku umum di dunia internasional agar dapat memudahkan pemerintah dalam meminta bantuan kerjasama dari pemerintahan negara lain berdasarkan hubungan baik dengan berlandaskan prinsip resiprositas.
Secara khusus tujuan dari Undang-Undang ini adalah untuk: mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personel), sehingga meskipun tersangka/ terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara azas yang berlaku karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan.
Mendorong terwujudnya pengelolaan aset tindak pidana yang profesional, transparan dan akuntabel dengan pembentukan lembaga pengelola aset. memudahkan Pemerintah Indonesia dalam meminta bantuan kerjasama pengembalian aset (aset recovery) dari pemerintahan negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan baik pidana maupun perdata.
Batasan jumlah aset yang kejar dengan pendekatan Undang-Undang ini, jumlah nominalnya Rp 500.000.000,- ( Lima Ratus Juta Rupiah ) dan aset di bawah nilai tersebut tidak menggunakan pendekatan Undang-Undang ini, melainkan menggunakan mekanisme konvensional. Jika terjadi perubahan nilai minimum maka penyesuaian nilai minimum tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Kemudian undang-undang ini juga mendorong mengelola aset yang professional, transparan, dan akuntabel dengan dibentuknya lembaga pengelolaan aset yang bertanggungjawab kepada menteri yang membidangi urusan keuangan dalam pemerintahan agar tidak disia-siakan atau ada yang disalahgunakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan negara dan untuk memudahkan pemerintah meminta bantuan kerja sama pengembalian aset dari negara lain yang pada umumnya mensyaratkan adanya putusan pengadilan.
Undang-Undang yang ditetapkan ini berlaku surut terhadap aset yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan sejak tahun 1998 tetapi bukan memberlakukan surut tata cara pidananya akan tetapi pemberlakuan surut terhadap hasil-hasil kejahatan.
Rls
Editor Zurfami