Rokan Hulu, Kompas 1 Net— Aliansi Masyarakat Adat Melayu (AMA) Riau Mengapresiasi upaya DPRD Rohul menggulirkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tentang Tanah Ulayat. Perda tanah Ulayat tersebut diharapkan mampu menyelsaikan sengkarut permasalahan Konflik Agraria di “Negeri Seribu Suluk”.
Ketua AMA Riau Heri Ismanto mengatakan, berdasarkan Kajian Ilmiah AMA Riau salah satu penyebab tingginya Konflik Agraria di Rokan Hulu Sebagian besar disebabkan tidak adanya payung hukum yang melindungi hak-hak wilayah hukum adat. Padahal, secara faktual eksistensi keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Rokan Hulu, masih ada bahkan sebelum Indonesia Merdeka.
“Sebagian besar Izin Konsesi Perusahaan di Rohul rata rata dikeluarkan pada Zaman Orde baru dan diwarnai pengangkangan hak-hak Masyarakat Adat. inilah sebabnya, ketika ada perpanjangan Izin konsesi, muncul penolakan Masyarakat adat yang menuntut hak mereka kembali. namun Posisi Masyarakat Adat dalam memperjuangkan haknya sangat sulit karena tidak adanya perda tanah ulayat, meskipun mereka memiliki bukti Sejarah” Ujar Heri.
Heri Mengatakan, AMA Riau sejatinya sudah lama mendorong pembentukan Perda Tanah ulayat baik melalui LAMR Rokan Hulu, Pemkab Rohul dan DPRD Rohul seperti halnya Provinsi Sumatera Barat.
Apalagi, di era Reformasi, negara mengakui hak-hak Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui Undang-Undang Dasar Pasal 18 B, Kemudian Permendagri 52 Tahun 2014, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-undang Kehutanan dan Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014. Namun sayangnya, Niat baik negara tersebut justru kurang di tindak lanjuti oleh Pemerintah di Daerah.
“Saya berharap Ranperda tentang tanah ulayat ini bukan hanya sekedar life service jelang pemilu namun benar-benar dibuat dengan semangat untuk melindungi kepentingan Masyarakat adat di Rohul sehingga eksistensi mereka tidak hilang” harap Heri.
Heri juga mengingatkan, pembahasan Ranperda ini hendaknya mengedepankan perspektif universal dalam artian perda ini harus melindungi kepentingan Masyarakat adat secara universal bukan hanya parsial yang hanya menguntungkan satu kelompok.
“Jangan sampai perda ini hanya dibuat untuk menjustifikasi hak-hak suatu sekelompok kecil apalagi segelintir orang, harus mengakomodir seluruh Masyarakat Hukum Adat” ujarnya.
Selain itu, dalam perda ini juga perlu di rumuskan bagaimana menyelaraskan hak-hak keperdataan Masyarakat ataupun investor yang sudah terlanjur berada di atas tanah ulayat, sehingga perda ini juga tidak mengamputasi hak-hak Masyarakat yang sudah berdiam di tanah ulayat tersebut.
“banyak solusi yang bisa ditawarkan seperti menerapkan istilah pancung Alas yang di berikan kepada masyarakat adat jika dalam inventarisasi tanah-tanah ulayat itu, terdapat hak keperdataan seperti sertifikat di atasnya”
“begitu juga lahan-lahan konsesi, masyarakat hukum adat di atas tanah lahan konsesi itu juga harus di ajak duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam memutuskan. Jadi keberadaan investor di wilayah adat itu benar-benar dirasakan manfaatnya dan Masyarakat tentunya akan melindungi Perusahaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka” tutupnya