Rahman Sabon: Viral Beras Sintetis Beracun Eks Bulog Tantang Integritas Kemenhan dan Bais TNI di Era Perang Asimetris

Keterangan photo : Rahman Sabon Nama berbatik bersalaman dengan pemilik pabrik beras terbesar di Vietnam baju putih.

Jakarta, Kompas 1 Net– Dr. Rahman Sabon Nama Ketua Umum APT2PHI (Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Holtikultura Indonesia) menyoroti serius berita yang beredar viral di medsos soal ditemukan beras Bulog yang beracun.

Beras impor asal China itu ditemukan berlogo Bulog, terbuat dari bahan sintetis, bisa diontal-ontal menyerupai bola pingpong. Di Provinsi Aceh, seperti beredar di medsos, ada ibu-ibu sekarat lantaran mengkonsumsi beras impor sintetis asal China.

Berita mengejutkan seperti mimpi di siang bolong itu menyulut reaksi  Rahman. “Berita yang sudah meluas menjadi konsumsi publik itu patut menjadi perhatian Kementerian Pertahanan dan Bais TNI, karena berkolerasi kuat dengan perang non militer dan terkait pertahanan negara di era perang asimetris,” kata Alumnus Lemhanas RI itu, Senin (9/10/2023).

Pemerhati masalah pangan dan pertahanan ini tergelitik heran dalam tanya: memangnya Ìndonesia ini sudah menghadapi kelaparan seperti di Ethopia? Apa dan bagaimana sih peran Bulog? Kok begini jadinya negeri agraris tongkat kayu dan batu jadi tanaman ini?

Rahman mengatakan, suburnya tanah di negeri ini (Indonesia) bisa menghasilkan padi minimal 5-6 ton tiap satu hektar (Ha) sawah. Dengan keluasan areal sawah saat ini 10 juta Ha, maka seharusnya produksi padi dalam negeri 50-60 juta ton gabah.

Rahman mengkalkulasi, jika pada 2023 jumlah penduduk Indonesia 278 juta orang, sementara kebutuhan konsumsi perkapita 150 kg pertahun (Data BPS), maka  kebutuhan beras perkapita untuk 278 juta orang pertahun 41, 3 juta ton. Artinya, masih surplus stok  8,7.juta ton gabah.

Akan tetapi, tanya Rahman, mengapa pemerintahan Joko Widodo tidak optimal melakukan pengadaan pembelian gabah dan beras petani dalam negeri, namun justru terus mengimpor setiap tahun?

Menurut Rahman, impor beras terus-menerus di era pemerintahan Jokowi, lantaran persoalan beras sebagai kebutuhan vital terkait “perut rakyat” sudah bermetamorfosis menjadi komoditas politik untuk cari untung: cuan.

Itu sebabnya pula, kata Rahman, pemerintah Jokowi tidak fokus dan tidak seriusi upaya meningkatkan produksi beras dalam negeri, kendati beras jelas pasarnya yang tentunya memberi keuntungan cukup bagi petani Indonesia.

“Selama 9 tahun berkuasa, mungkin Presiden Jokowi beranggapan, untuk apa harus susah payah memproduksi (beras) sendiri, yang, akhirnya mengambil jalan pintas mengimpor yang dianggapnya lebih murah,” kata Rahman.

Dengan nada sesal dia mengatakan, pada awal Oktober 2023 pemerintah memutuskan menunjuk Bulog mengimpor satu juta ton _long grain white rice_ dari China seperti dinyatakan oleh Presiden Jokowi.

APT2PHI, kata dia, menemukan tiga indikator sumber  politisasi beras di era pemerintahan Jokowi yang membuat kehidupan petani padi tidak berubah, dan langgeng menjadi petani Gurem. Tiga indikator tersebut yaitu: Pertama, sektor produksi yang membuat ekonomi biaya tinggi  karena masalah pupuk mahal, irigasi tidak dirawat dengan baik dan lahan pertanian berkurang, dialihfungsikan untuk industri dan perumahan.

Kedua, sektor konsumsi dimana pemerintah tidak mampu menstabilkan harga eceran yang terjangkau rakyat ,harga melambung tinggi dan operasi pasar Bulog gagal . Ketiga, sektor pemasaran terkait politisasi harga  ditentukan mafia pangan yang seharusnya diaplikasikan dalam harga dengan lembaga negara Perindag/Bulog. “Tiga indikasi faktor ini di luar kekuasaan petani produsen,” kata Rahman Sabon.

Ketua Umum Partai Daulat Kerajaan Nusantara ini, pun merasa heran, bahwa menjelang Pemilu 2024 ditemukan beras sintetik plastik berlogo  Bulog di berbagai daerah Pulau Jawa dan di Aceh, Pulau Sumatera.

“Apakah lembaga Bulog penyedia komoditi pangan sudah tidak aman dan menjadi ancaman kesehatan bagi rakyat Indonesia?” tukas Rahman.

“Ini ‘kan masalah serius 278 juta nyawa rakyat!? Maka, saya minta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan BAIS TNI  perlu mendalami kasus ini untuk segera melakukan investigasi. Hemat saya kasus ini bukan ancaman serangan , tetapi sudah merupakan perang non militer senjata biologis.Jangan sampai ada kolusi kepentingan politik dengan mempertaruhkan nyawa rakyat Indonesia, karena kepentingan politik menjelang Pemilu 2024,” kata Rahman.

Menurutnya, dugaan tersebut mungkin saja terjadi, di tengah dengan santernya tentang berbondong-bondongnya imigran China menyerbu masuk ke berbagai wilayah Indonesia.

Kata Rahman, mudahnya para oligarki WNI China berbisnis dengan Bulog, dan menjadi pelaksana  importir beras satu juta ton dari China, merupakan cara mudah menangguk keuntungan bisnis dari impor beras  untuk membeli kekuasaan menjelang Pemilu 2024. “Pelakunya adalah importir pangan beras dari kalangan oligarki 9 cacing naga WNI China,” tandasnya.

“Hasil investigasi saya beberapa  waktu lalu di pabrik beras terbesar di Vietnam, Thailand, Kamboja dan Pakistan (Siam Rice dan Dong Thap), terkuak dan terakurasi bahwa mafia importir beras mendapatkan fee US$ 15 sampai US$20 perton.”

“Dengan begitu, importir beras China sebanyak satu juta ton pada 2023, praktis akan meraup keuntungan US$ 20 juta, ” pungkas Rahman Sabon Nama. (Rahman Sabon Nama)

Pos terkait