Menguak Mitos 9 Naga (Dirimu Jua Yang Agungi Kebathilan) Oleh : Dr.Elviriadi

Pekanbaru | Kompas 1 Net-Anda pernah dengar 9 (sembilan) Naga? Saya pun pernah. Heran juga. Kok kedengarannya sakti mandraguna. Kerajaan bumi bernama indonesia -yang sebentar lagi jadi “Nusantara” – seolah berada digenggamannya. Dikaitkan pula dengan diksi politik ” Oligarchi”, klop katanya.

Sebagai akademisi yang melihat sejarah dari zoom yang melebar, saya tak yakin ada kekuatan yang bisa bertahan. Apalagi bila ia tersusun dari suku cadang ketidak-benaran.

Negara negara kapitalis, dalam filsafat sejarah, akhirnya tunduk pada kekuatan megalomania Hitler.

Uni Soviet sebagai simbol sosialis bekecai, negaranya menyerah pada rapuh ideologi sosial sosialisme.

Maka munculnya terma “9 Naga” yang konon digdaya menguasai ekonomi dan sumberdaya alam ekstraktif.

Hutan tanah melayu ranap, bukit bukau rata, dan sungai sungai mengaliri asa hampa kaum pinggiran.

Sejatinya, tak ada kekuatan abadi. Selama kerajaan Allah masih bercokol dimuka bumi. Kerajaan, kekuasaan, konspirasi kemakmuran, koalisi manipulatif, termasuk yang baik baik dalam blantika kehidupan, semuanya dibawah bayang bayang Kuasa Tuhan, Allahu Robbul Alamin. Itu pesan video yang disampaikan Syeikh Mutawalli Asy Sya’rawi yang bergema.

Tetapi mengapa parade dehumanisme dan ketidakadilan tampak kuat dan menggerunkan? Tersebab dirimu jua yang agungi kebathilan.

Jika kebathilan diagungkan di hati, maka masyarakat Riau tak pernah bergerak membela diri. Jika kebathilan kau agungi, maka tak ada harapan apa apa pada masa depan. Kau berpuas dalam tirani tandingan selain Tuhan.

Tersebab tak hirau kan kebathilan yang tampak besar, Pasukan Thalut dengan yang tersisa sedikit (tak meminum air sungai) berhasil mengalahkan Jalut perkasa, kekar badannya, ribuan prajuit histeria patuh.

“Kaaminn Fiiatin, Qoliiilatin Qholabat fiatan katsiroh” (betapa banyak dari pasukan yang sedikit mampu mengalahkan pasukan yang banyak-lengkap persenjataan). Itu lah rahasia para ahsanitaqwim wirazaman (yang sempurna karakter juang sebagai perwira zaman) yang tampaknya harus dikonsepi Aliansi Masyarakaf Sipil Rohil (Almasri), Aliansi Masyarakat Adat (AMA) Laksmana Heri dan Bung Amir Muthalibi.

Sejarah, pada akhirnya, hanya mencatat para petarung sejati. Mitos 9 Naga harus dikuak, tampilkanlah dirimu, wahai Hang Jebat Riau yang terkurung malu dibalut romantisme rindu masa lalu.

Kini zamanmu memanggil, umat meminta, bangsa tercidera, dan dimanakah para punggawa dan laksama yang dulu begitu gempita? Tersebab kau agungkan kebathilan itulah, nalar dan narasi kritismu redup, dan marwah martabat hanya tinggal diksi kaum adat feodal nan pengecut.

Karena kau agungkan, persiapanmu nihil. Harapan harapanmu menguncup, putik kreatifitas sejarah dan kebebasan jiwamu stagnan, tak lagi mekar jadi bunga peradaban yang harum.

Padahal, yang terjanji dari Alquran, peganglah panji kebenaran. Tersebab kebahilan itu lemah. Inna kaidasyh syaiton kaana dhoiifa. Sesungguhnya tipa daya syaitan itu lemah. Bagi hati yang tak kenal kata “menyerah”. Syahdan, cerita 9 Naga yang entah dimana mastautinnya, biar ia tinggal bersama hati para pecundang. Yang rela mundur dari gelanggang kompetisi kemuliaan, ke-anggun-an dan cita cita mengabdi bersama Tuhan…***

Dr.Elv adalah penulis essey dan sastra, ahli lingkungan hidup & kehutanan.

 

 

 

 

 

Pos terkait