Dengan adanya UU 18/2017, maka PMI sudah bisa mandiri untuk melamar atau mengikuti seleksi agar bisa bekerja di negara yang dituju. ANTARANEWS
Rancangan perpres merupakan upaya negara menjamin hak setiap warganya memperoleh pekerjaan di luar negeri, sehingga dapat menikmati penghidupan yang layak.
Kompas 1 Net- Seiring dengan ekses dari globalisasi telah membuka pintu bagi mobilitas tenaga kerja lintas batas, termasuk bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), di 2023 jumlah penempatan PMI tercatat sebanyak 274.965, naik 37% dari 2022 dan 176% dari 2021. Meskipun sempat terjadi penurunan pada 2020 dan 2021 akibat pandemi Covid-19, jumlah penempatan 2023 sudah kembali pada level sebelum pandemi.
Pekerja migran kerap disebut ‘Pahlawan Devisa’. Mereka merupakan salah satu penopang tumbuhnya perekonomian nasional dan berkontribusi secara konkret bagi pendapatan negara dan produktivitas ekonomi, melalui tingginya remitansi atau pendapatan yang dikirimkan ke dalam negeri. Bisa dilihat dari data Bank Indonesia tahun 2023 mencatat remitansi PMI mencapai USD14,22 miliar.
“Berdasarkan potensi penempatan dan potensi remitansi tersebut, pasar kerja luar negeri menjadi salah satu pilihan untuk menyerap tenaga kerja produktif sehingga Indonesia dapat memanfaatkan fenomena bonus demografi yang sedang dihadapi dan dapat memenuhi target penyediaan lapangan kerja sebanyak 2,7 sampai dengan 3 juta seperti yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024,” tutur Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin saat menghadiri Konsultasi Publik Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden tentang Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI), di Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Besarnya peran dan potensi penempatan PMI tidak luput dengan berbagai permasalahan seperti pendidikan PMI yang didominasi lulusan SMA ke bawah, kurangnya keterampilan dan pelatihan, maraknya penipuan dalam proses rekrutmen hingga timbul proses penempatan non-prosedural, dan kurangnya perlindungan untuk PMI dan keluarganya secara menyeluruh (sebelum penempatan, selama penempatan, dan setelah penempatan).
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mendapat amanat dari Presiden Joko Widodo untuk mengkaji ulang tata kelola penempatan PMI. Pada perkembangannya, arahan tersebut kemudian disepakati untuk dituangkan dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan Kemenko Perekonomian sebagai pemrakarsa.
Pembahasan rancangan perpres ini merupakan salah satu upaya negara untuk menjamin hak setiap warganya untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri sehingga warga negara dapat menikmati penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena dampaknya yang luas, perlu adanya kegiatan konsultasi publik atau meaningful participation.
Rancangan Peraturan Presiden yang telah disusun berfokus pada lima isu yaitu penempatan pekerja migran Indonesia, pelindungan pekerja migran Indonesia, pengawasan pelaksanaan penempatan pekerja migran Indonesia, pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia dan lembaga pendukung penempatan pekerja migran Indonesia, serta pendataan pekerja migran Indonesia. Rancangan perpres itu mengatur rencana aksi yang akan dilaksanakan stakeholder terkait yang terdiri atas sasaran, kegiatan, output, target waktu, serta kementerian/lembaga penanggung jawab dan pendukung.
Kegiatan konsultasi publik yang dilaksanakan secara hybrid ini mengundang berbagai perwakilan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi dan asosiasi, serta akademisi.
Perubahan Paradigma
Adapun, BP2MI terus melalukan sosialisasi perubahan paradigma penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia dari stigma berkemampuan rendah hingga sekarang menjadi pekerja berkompeten yang dibutuhkan negara penempatan.
Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Amerika dan Pasifik BP2MI Agustinus Gatot Hermawan menjelaskan, kelahiran Undang-Undang nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah mengubah paradigma dari tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi PMI. “Dulu stigma publik sebelum UU 18/2027, kalau kita bicara tentang TKI adalah pekerja-pekerja yang bekerja dengan jabatan rendah, tidak profesional, kompetensinya kurang, dan juga gaji yang didapat rendah,” katanya.
Karena itu, dengan terbitnya UU 18/2017, katanya, ada perubahan paradigma tentang pekerja migran. Saat ini, pemerintah mengedepankan pekerja migran yang mempunyai kompetensi, sehingga mereka akan bekerja di jabatan yang tinggi dan juga gaji tinggi, selain pelindungan yang diperoleh.
Pada masa lalu kebanyakan TKI karena direkrut para agen tenaga kerja. Kini dengan adanya UU 18/2017, maka PMI sudah bisa mandiri untuk melamar atau mengikuti seleksi agar bisa bekerja di negara yang dituju.
Sumber: Indonesia.go.id
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari