Jakarta, Kompas 1 Net- Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan soliditas kebangsaan tidaklah dibentuk oleh kesamaan ciri fisik dan berbagai atribut yang menyertainya dan hanya nampak pada permukaan. Nasionalisme adalah paradigma yang mampu menembus dan menafikan sekat-sekat primordialisme sempit. Nasionalisme dibangun oleh semangat kebersamaan, dirajut oleh perasaan senasib sepenanggungan dan dibentuk oleh kesatuan visi dan cita-cita bersama.
“Menakar ulang kadar nasionalisme adalah manifestasi dari proses pembelajaran untuk mawas diri dan kontemplasi. Setelah 78 tahun ikrar kemerdekaan dan janji-janji kebangsaan dikumandangkan, masihkah nasionalisme itu menjadi semangat kolektif dan jiwa bangsa sebagaimana pada awal kelahiran republik ini? Ataukah nasionalisme itu sudah tergerus dan terdistorsi oleh dinamika zaman yang serba pragmatis dan cenderung abai terhadap nilai-nilai kebangsaan?,” ujar Bamsoet dalam acara Deklarasi Bhinneka Tionghoa Nasionalis Indonesia, di Jakarta, Minggu (17/8/23).
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan berbagai pertanyaan yang mengemuka tentang nasionalisme tersebut semakin menemukan kontekstualitasnya di tengah semakin kompleksnya tantangan kebangsaan yang dihadapi sebagai negara multi-etnis, multi-kultur, dan multi agama. Mengelola kebhinekaan dan kemajemukan dalam sebuah negara bangsa yang begitu kaya akan keberagaman, semakin membutuhkan komitmen kolektif yang kuat dari setiap elemen bangsa.
“Kegagalan dalam mengelola kemajemukan dengan baik dan benar, hanya akan menempatkan kita kembali pada masa pra kemerdekaan, di mana semangat persatuan dan kesatuan belum menjadi kesadaran kolektif. Akibatnya, dengan mudahnya kita tercerai-berai dan menjadi bangsa yang terjajah. Ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kebhinekaan dan kemajemukan sebagai sebuah keniscayaan adalah sebuah langkah mundur dalam lini masa peradaban,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, konsepsi ‘negara bangsa’ (nation state) menggariskan bahwa setiap elemen bangsa memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan memiliki peran dan tanggungjawab yang sama besarnya untuk membangun dan memajukan negara. Sejarah pun mencatat bahwa dalam memperjuangkan kemerdekaan, setiap elemen bangsa memiliki andil dan kontribusi masing-masing, tidak terkecuali etnis Tionghoa.
Sejarah pun mencatat nama-nama tokoh Tionghoa yang berjasa pada bangsa dan negara Indonesia. Antara lain Lie Eng Hok yang mempelopori gerakan pemberontakan di Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kemudian John Lie atau Daniel Dharma, perwira Angkatan Laut pada masa penjajahan Jepang, yang dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
Selanjutnya Sho Bun Seng, pegiat seni yang bergabung dengan gerilyawan perang di Sumatera Barat. Dan masih ada beberapa lagi tokoh Tionghoa yang mungkin saja namanya tidak banyak kita kenal, namun menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Catatan sejarah tersebut mengisyaratkan bahwa sejatinya semangat kebersamaan telah diteladankan oleh para pendahulu kita, dan telah menjadi legasi kesejarahan. Kedua, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali etnis Tionghoa,” pungkas Bamsoet. (*)