Pekanbaru, Kompas 1 net – Menanggapi persoalan fenomenal banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa daerah saat ini, KAMMI Riau menurunkan penuturannya kemeja redaksi Kompas 1 net. Senin 1 Desember 2025. Sebagai berikut:
“Banjir besar yang mengakibatkan ratusan orang meninggal di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah hanya akibat cuaca ekstrem atau bencana yang muncul tanpa alasan. Ini adalah hasil dari kerusakan lingkungan yang telah dibiarkan selama bertahun-tahun tanpa penanganan yang memadai.
Arus air yang menerjang rumah-rumah, kayu-kayu besar yang terbawa arus hingga ke hilir, serta tanah longsor yang menghancurkan desa-desa tidak hanya disebabkan oleh hujan, tetapi juga karena kerusakan yang terjadi di hulu sungai. Data dari Global Forest Watch mencatat bahwa Sumatra mengalami kerusakan berat.
Aceh kehilangan sekitar 800 ribu hektare lebih hutan sejak tahun 2001, Sumut kehilangan kurang lebih 1,6 juta hektar dan Sumbar kehilangan 700 ribu hektar lebih tutupan pohon. Angka-angka ini bukan sekedar statistik; ini adalah bukti nyata bahwa sistem ekologi yang berfungsi menjaga ketersediaan air dan tanah telah dirusak oleh praktik pembukaan lahan di daerah lereng curam, kegiatan penambangan, serta pembangunan yang mengabaikan kapasitas lingkungan.
Setiap bencana yang terjadi menunjukkan pola yang sama, yaitu reaksi heboh setelah kejadian, tetapi tinggal diam saat sebelum bencana. KAMMI Riau menyaksikan para pejabat datang menggunakan rompi, bantuan logistik dikirimkan, dan konferensi pers dikelarkan, namun akar masalah tetap dibiarkan tanpa solusi. Kita melihat sungai yang menyusut karena pembangunan, sistem izin yang tidak pernah dievaluasi dengan seksama, dan pemerintah daerah dan pusat yang terlalu gampang memberikan izin kepada kepentingan jangka pendek.
Selama bertahun-tahun, masyarakat dipaksa berada di hilir yang semakin berisiko, sementara bagian hulu terus-terusan dieksploitasi. Ketika banjir besar datang, yang menderita adalah masyarakat, bukan mereka yang mengeluarkan izin. Ini bukan sekadar masalah tata ruang, ini adalah pengkhianatan terhadap keselamatan publik.
Kita perlu berhenti menganggap bencana ini sebagai malapetaka alam. Ini adalah akibat dari keputusan politik, ekonomi, dan birokrasi yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar ekologi yang harus adanya hubungan timbal balik yang positif antara masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, KAMMI Riau menilai kita tidak punya pilihan lain. Pemulihan ekosistem hutan di Sumatra harus menjadi prioritas bagi masyarakat, pemerintah daerah, serta pemerintah pusat. Tidak sekadar menjadi wacana setelah bencana. Pemerintah daerah perlu berani menghentikan izin yang merusak hulu dan melakukan penilaian ekologi menyeluruh terhadap kegiatan tambang dan perkebunan di daerah yang rentan.
Pemerintah pusat wajib menegakkan moratorium yang ketat pada pembukaan hutan di lahan curam dan hulu daerah aliran sungai, tanpa ada pengecualian. Masyarakat sipil harus terus mengawasi, meminta transparansi, dan tidak lagi membiarkan kerusakan terjadi secara “diam-diam” yang baru terasa saat banjir tiba.
Satu hal yang perlu kita ingat bahwa nyawa manusia jauh lebih bernilai dibandingkan semua proyek dan kepentingan ekonomi yang mengorbankan hutan. Jika negara dan masyarakat masih ragu untuk memulihkan lingkungan sekarang, maka banjir bandang berikutnya hanya tinggal menunggu waktu dan konsekuensinya pasti jauh lebih mengerikan berkali lipat daripada yang terjadi baru-baru ini. Terahir pemerintah pusat harus hadir untuk pemulihan pasca bencana banjir besar ini, banyak infrastruktur jalan, Pendidikan, Kesehatan, dan lain sebagainya yang rusak, perbaikannya harus cepat dan tepat,” ujar Febriansyah menutupi mukadimah.
Editor redaksi

















