Jadi Penguji Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Ketua MPR RI Bamsoet Ingatkan Pentingnya Regulasi Hak Cipta Jurnalistik (Publisher Rights)

BANDUNG, Kompas 1 Net – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen FHISIP Universitas Terbuka Dr. Bambang Soesatyo, SH, SE, MBA mengingatkan pentingnya Regulasi Hak Cipta Jurnalistik (Publisher Rights) sebagai instrumen yang diharapkan dapat mengatur agar platform digital seperti Facebook, Google, Twitter, dan produk lainnya dapat memberikan nilai ekonomi terhadap setiap karya media massa.

Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor Hukum UNPAD ini menegaskan, Hak cipta jurnalistik pun menjadi unsur penting membangun kedaulatan nasional di bidang digital, mengingat penduduk Indonesia menjadi pasar digital terbesar di Asia. Setidaknya berbagai pihak boleh jadi dapat menyalahgunakan kemampuan rekayasa algoritma dan analisis big data yang dimiliki berbagai platform digital global tersebut untuk merekam perilaku digital. Bahkan, menganalisis preferensi dan pandangan politik masyarakat.

Bacaan Lainnya

“Oleh karena itu, eksistensi perusahaan platform digital global harus menjadi obyek hukum yang dapat diatur dan patuh terhadap implementasi hukum nasional. Termasuk harus beroperasi di dalam jangkauan hukum nasional. Dia menilai, regulasi yang dibuat pun harus mampu menjangkau keberadaan perusahaan global penyedia layanan konten atau data via jaringan atau dikenal dengan perusahaan over the top,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji Seminar Hasil Riset Mahasiswa Doktoral FH-UNPAD dengan Disertasi “Perlindungan Hukum Hak Siar Pada Lembaga Penyiaran Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran” yang disusun oleh Tb. Apriza Mulqi di Kampus Universitas Padjajaran Bandung, Jumat (14/4/23).

Hadir antara lain Ketua Sidang merangkap Ketua Promotor Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, Anggota Promotor Dr. Dadang Rachmat Hidayat dan Dr. Ranti Fauza Mayana, serta Oponen Ahli Dr. Justisiari, Dr. Adrian E. Rompis, Dr. Muhamad Amirulloh dan Dr. Tasya Safiranita.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, bagi sektor media kesetaraan di depan hukum menjadi penting dan fundamental. Setidaknya, dengan adanya hak cipta jurnalistik diyakini mampu membuat kedudukan berbagai platform digital global menjadi setara dengan para pelaku usaha nasional, yang selama ini telah taat pada berbagai ketentuan perpajakan, aturan media dan penyiaran. Bahkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Membangun kemandirian digital menjadi keniscayaan adanya kemamuan bersaing dan memiliki posisi tawar yang kuat. Serta mampu mengambil manfaat dari alih teknologi dan inovasi. Termasuk soal bagaimana bentuk hukum peraturan hak cipta jurnalistik,” tegasnya.

Menurut Bamsoet, banyak lembaga penyiaran yang menyiarkan konten di media sosial, hanya mencantumkan sumbernya tanpa penciptanya. Akibatnya, banyak konten kreator yang merasa dirugikan. Begitu juga industri TV merasa banyak kontennya yang diambil para Youtuber.

“Saat ini kebutuhan masyarakat akan akses informasi penyiaran semakin meningkat. Sehingga, konten penyiaran banyak disebarkan tidak hanya melalui platform konvensional saja, namun juga melalui media sosial. Realitas ini menarik untuk diperbincangkan, bagaimana perlindungan hak cipta terhadap konten-konten penyiaran yang disebarkan melalui platform media sosial,” ujarnya.

Bamsoet juga menegaskan kepada kandidat doktoral Apriza Mulqi bahwa tujuan hak siar adalah untuk memberikan perlindungan terhadap siaran yang dimiliki oleh lembaga penyiaran agar tidak mudah disalahgunakan oleh pihak lain yang berakibat kerugian kepada lembaga penyiaran. Hak siar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Sedangkan kegiatan penyiaran diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Di era transformasi digital saat ini masih kerap terjadi pelanggaran hak siar, khususnya yang berhubungan dengan hak cipta. Karenanya, perlu dibuat peraturan khusus yang dapat dijadikan dasar perlindungan hukum hak siar terutama yang berhubungan dengan keberadaan hak cipta, seperti peraturan hak cipta jurnalistik,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta menyebutkan, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif, setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata, tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sayangnya, ide tidak dapat dilindungi dengan hak cipta, karena ide merupakan hasil karya yang belum diwujudkan secara nyata.

“Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan hak cipta jurnalistik. Hak cipta jurnalistik sangat penting untuk melindungi kepentingan pers nasional menghadapi dominasi platform global, seperti Google, Facebook, Youtube, Twitter, Alibaba, dan lainnya. Selain itu, hak cipta jurnalistik juga menjadi unsur penting membangun kedaulatan nasional di bidang digital,” urai Bamsoet.

Wakil Ketua Umum SOKSI dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, Presiden Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2023 telah menyatakan mendukung dibuatnya peraturan hak cipta jurnalistik yang akan dikeluarkan dalam bentuk peraturan presiden (Perpres). Adanya hak cipta jurnalistik diyakini mampu membuat kedudukan berbagai platform digital global menjadi setara dengan para pelaku usaha nasional, yang selama ini telah taat pada berbagai ketentuan perpajakan, aturan media dan penyiaran, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Dengan jumlah penduduk lebih dari 272,2 juta jiwa, dan tingkat penetrasi internet sebesar 76,8 persen, Indonesia telah menjadi salah satu pasar digital terbesar di Asia. Karenanya, eksistensi perusahaan platform digital global harus menjadi obyek hukum yang dapat diatur dan patuh terhadap implementasi hukum nasional, serta harus beroperasi di dalam jangkauan hukum nasional. Regulasi yang dibuat juga harus mampu menjangkau keberadaan perusahaan global penyedia layanan konten atau data via jaringan atau dikenal dengan perusahaan over the top,” pungkas Bamsoet. (*)

Pos terkait