Secara mengejutkan, tokoh politik Surya Paloh membuat manuver sigap.
Boss Metro Tv itu “melamar” DPP PKB untuk berkoalisi mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden; dan tentu sang Ketua Umum sebagai Wapres.
Fungsionaris PKB, Hasanudin Wahid seusai Rapat Pleno Gabungan DPP PKB di Kantor DPW PKB Jatim mengatakan partainya menerima tawaran tersebut, Jumat (1/9/2023) petang.
Tentu saja upaya politik Nasdem itu merubah peta politik secara dramatis. Capres yang diusung Gerindra, Prabowo Soebianto bakalan sukar meraup suara Jatim dan Jateng, sebab merupakan lumbung suara PKB.
Sedangkan Capres PDIP Ganjar Pranowo dengan basis nasionalis marhaen “telanjur” beririsan dengan Cawapres Prabowo yang diduga kuat dari garis ideologi serupa.
Redakan Ketegangan
Munculnya duet Anies -Cak Imin dapat dipandang sebagai momentum rekonsiliasi umat islam indonesia. Kantong politik Muhaimin adalah warga Nahdhiyyin, organisasi islam terbesar ditanah air. Sementara itu, basis massa pendukung Anies adalah PKS, kelompok islam politik kontemporer (diantaranya PA 212, tokoh islam Habib Rizieq Shihab, Bachtiar Nasir, Eggy Sujana, umat Islam luar pulau Jawa) yang kedua memiliki iltizam (komitmen) dan tsiqah kepada qiyadah (pemimpin).
Suasana politik yang demikian, pada hemat penulis, mungkin dapat “dimanfaat” untuk meredakan ketegangan internal umat islam jelang 2024.
Jika dipandang dari rentang sejarah Orde Baru, sebenarnya umat islam indonesia telah memerlihatkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniah dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan?
Memang hubungan umat islam dan negara seperti ditulis Abdul Aziz Thaba pernah mengalami pasang surut. Terutama masa resiprokal-kritis jelang tumbang Orde Baru dan kelahiran ICMI.
Tetapi penulis berkeyakinan, dengan dinamika muthakhir yang dimainkan Surya Paloh, eksalasi konflik politik Pilpres bisa mereda. Utamanya, potensi benturan massa islam politik pendukung Anies dengan pihak pihak yang berseberangan. Dengan demikian, prospek penguatan umat islam menuju islam -sebagai- politik cukup prospektif ke depan.
Lebih dari itu, wajar jika mencuat sebuah harapan baru; apakah bisa umat yang mayoritas secara kuantitas, tidak kian menjadi minoritas dalam substansi politik dan hak hak bernegara? Itu lah yang pernah dikhawatirkan Prof Deliar Noer sang cendikiawan negarawan.
Akan tetapi, yang maha penting sesungguhnya, kita sebagai bangsa besar, merindukan sebuah pemilu yang damai, pesta demokrasi yang benar benar demokratis. Sebuah pemilihan pemimpin bangsa besar dengan cara cara yang besar pula. Jiwa besar. Dan hati yang mencintai NKRI bukan sebagai slogan belaka. Yang dibuktikan melalui perbuatan, keteladan, keinsyafan yang gunuine dan konsekuwen.***