(Bagian Pertama dari 2 Tulisan)
Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Rasad Caniago dan ibunya bernama Sinah Simabur. Orang tuanya adalah bangsawan yang bekerja sebagai pegawai pertanian Hindia Belanda.
Sewaktu kuliah di Belanda, Tan Malaka terlihat sebuah buku ; de Fransche Revolutie. Jiwa revolusionernya menjadi jadi setelah memperdalam membaca buku-buku, karya Karl Max, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin yang banyak membahas tentang Sosialisme dan kaum proletar. Sejak itulah, Tan mulai membenci budaya Belanda yang sedang menjajah tanah air. Tan Malaka menjadi orang yang penuh semangat mendalami politik dan mengaplikasikan ilmu dan pengalamannya yang diperoleh di negeri Belanda. Pemikirannya semakin radikal dengan menggunakan ideologi kiri. Aksi pertamanya adalah keterlibatan terhadap pemogokan buruh di Sumatera.
Sewaktu saya kuliah di Perikanan Unri tahun 1995 – 1999, orde reformasi tengah bergolak. Saya ingat, setidaknya ada tiga jenis buku yang menancap di saku celana para aktivis. Buku Ali Shariati, (Seorang doktor Aktivis asal Iran), Buku Ashgar Ali Engeener dan Buku Tan Malaka.
Buku buku ini menjadi semacam magnus opus yang membangkitkan adrenalin perjuangan para mahasiswa terhadap kediktatoran orde Baru.
Buku Ali Shariati memberikan pondasi aqidah revolusioner bagi aktivis HMI (dimana sy menjadi kadernya) sedangkan Buku Karya Tan Malaka agak kurang digemari, karena dianggap terlalu kiri.
Tetapi setelah saya membaca “Dari Penjara ke Penjara”, De Rupbliek dan Madilog” dan latar belakang pembentukan intelektualitasnya, saya mula memahami sosok Tan Malaka sebagai kiri “berisi”.
“Kiri” dalam arti membawa (: terbawa) idiom idiom marxis leninis, tetapi sebagai tesis yang masih dipercampurkan dengan refleksi pribadinya yang multi spektrum.
Jika bung Karno atau tokoh kiri pra kemerdekaan lain memahami Sosialisme dan komunisme sampai ke kedalaman teologis, Tan Malaka tidak demikian.
Tan Malaka, tampaknya menjadikan esensi sosialisme dan bahkan mungkin juga komunisme sebagai alat melewah penjajah.
Pendidikan tauhid Ranah Minang, yang melekat dalam alam bawah sadar Seorang Tan Malaka muda, membuat ia mampu memilah dan menapis pemikiran tokoh yang dibacanya. Dia membaca “Comunis Manifesto” dan “Das Capital” tetapi dia juga berdialog dengan tokoh muslim H.Agus Salim dan HOS Cokroaminoto. Dengan perimbangan wacana ideologis itulah, Tan Malaka makin memantapkan diri sebagai pejuang anti kolonialisme.
Yang menarik bagi saya, juga seharusnya bagi generasi muda hari ini, bagaimana Tan Malaka mampu menulis ditengah aktivisme yang mencekam. Dia mampu menulis buku tebal tebal, sambil menggalang kekuatan rakyat melawan hegemoni Belanda. Dia memikirkan konsep nation state secara teoritis disertai literatur yang kuat, sambil mengorganisir buruh, petani dan kaum kaum marginal ditengah situasi tak menentu.
Kombinasi Des Sain dan Des Solen serta aksi revolusioner dimainkan simultan oleh putra terbaik bangsa yang lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Wajar jika kita hari ini merasa “kerdil” dibanding tindakan tindakan besar, berani dan patriotik yang dilakukan seorang Tan. Kejuangannya yang tulus pada bangsa ia buktikan dengan “eksekusi mati” yang membawa namanya terus hidup. Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan Gading. Tapi pahlawan mati meninggalkan nama yang abadi. Selamat Jalan Bung! Api revolusimu tetap hidup di hati. Kini dan disini.
Dr Elviriadi seorang pemikir muslim. Pernah jadi pembicara di Amerika Serikat, Italia, Auckland dan negara negara ASEAN