Jakarta, Kompas 1 Net-– Redaksi media ini, melalui Sekretariat PPWI Nasional, menerima kiriman pernyataan pers berupa surat terbuka dari rekan-rekan Pewarta Papua disertai permintaan untuk mempublikasikan surat terbuka di bawah ini. Secara singkat, surat tersebut berisi keresahan tokoh agama di Papua, Dr. A. G. Socratez Sofyan Yoman, MA, terkait masalah-masalah krusial tragedi kemanusiaan yang seakan tidak mendapatkan ruang untuk diselesaikan dengan baik dan beradab.
Surat terbuka bertarikh 23 Maret 2024 ini secara khusus ditujukan kepada Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, M.Han, di Jayapura, Provinsi Papua. Namun informasi dan keluh-kesah serta himbauan dari Gembala Socratez Yoman ini juga diperuntukan bagi semua pimpinan militer Indonesia, terutama di tingkat pengambil kebijakan. Tidak kalah pentingnya, surat ini juga semestinya menjadi masukan bagi Presiden Republik Indonesia dan semua pihak terkait agar kematian demi kematian manusia, baik orang asli Papua, warga pendatang, maupun pihak yang bertikai (TNI/Polri vs Pergerakan Papua Merdeka) dapat dihentikan dan semua kita dapat menikmati hidup secara damai, dari Sabang hingga Merauke.
Berikut ini petikan isi surat terbuka dimaksud.
___________
Perihal: TNI Harus Belajar Sejarah Proses Politik Penggabungan Papua Barat ke Dalam Wilayah Indonesia
Kepada Yang Terkasih,
Saudara Pangdam XVII Cenderawasih
Di Jayapura
Shalom!
Berkaitan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang paling kejam dan biadab dilakukan aparat keamanan anggota TNI yang sedang viral dalam bentuk vidio dan beredar secara massif, ini sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita semua, dan tentu saja saya sebagai Gembala sekaligus sebagai bagian dari Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Perilaku aparat keamanan anggota TNI yang dipertontonkan, penyiksaan terhadap seorang POAP yang dimasukkan dalam drum, ini sungguh-sungguh di luar batas-batas wilayah rasa kemanusiaan yang dapat mencederai dan melukai hati kami POAP.
Saudara Pangdam, perilaku anggota TNI ini terlihat paling biadab, kejam, brutal, barbar, dan seperti berwatak teroris, yang dikemas kebencian rasis dari aparat keamanan terhadap kami Penduduk Orang Asli pemilik Tanah ini.
Saudara Pangdam, kekejaman ini HANYA pengulangan peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelumnya. Pada 10 Maret 2010 Pasukan TNI Batalyon Infanteri Yonif 756 menangkap Pendeta Kindeman Gire dan alat vitalnya dibakar dengan pisau sangkur panas dan meninggal dunia.
Ada pula, 17 Maret 2010 dan 30 Mei 2010 di Kampung Gurage Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, pasukan Yonif 753 menangkap dua warga sipil, Telangga Gire bersama Anggenpugu Gire dan interogasi, menendang, dan menyiksa mereka, dan TNI sendiri membuat vidio dan vidio itu menjadi viral di media sosial dan dipersoalkan oleh lembaga internasional PBB. KOMNAS HAM pernah menetapkan kasus ini Pelanggaran HAM serius. (Sumber: Tempo Interaktif, 5 Januari 2021).
Belum lupa dalam ingatan kita, kasus mutilasi yang terjadi pada 22 Agustus 2023 di Kabupaten Mimika, ketika empat warga Nduga, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigi pergi ke Timika untuk berbelanja. Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan empat warga sipil sebagai pelaku.
Peristiwa 7 Februari dan 24 Februari 2024 di Yahukimo, satu warga sipil yang tewas di tangan TNI dan dua pemuda warga sipil berinisial MH dan BGE ditangkap, diikat, ditahan, dan disiksa.
Saudara Pangdam, masih banyak rekaman kekejaman dan kejahatan militer di Tanah ini sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang. Kapan berakhir kekejaman dan kejahatan ini terhadap kami POAP?
Saudara Pangdam, perilaku ABRI (kini TNI) yang paling kejam, brutal, barbar, rasis, fasis dan tidak mengenal rasa keadilan dan kemanusiaan itu dimulai sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan lebih terang terbukti dalam perampokan hak politik kami POAP pada Pepera 1969. Watak kejam militer itu belum pernah berubah tetapi kekejaman itu semakin menggurita dan berlanjut sampai hari ini.
Saudara Pangdam, kami bukan tidak mengerti proses politik Papua Barat dimasukkan secara paksa dengan moncong senjata ke dalam wilayah Indonesia. Kami sangat paham, mengerti, tahu dan sadar proses penggabungan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia penuh sandiwara dan konspirasi politik global dan keterlibatan militer secara langsung yang membuat POAP sangat menderita sampai sekarang.
Hak dasar politik kami rakyat dan bangsa Papua dirampok atau dihancurkan dengan moncong senjata oleh ABRI (sekarang TNI) dalam pelaksanaan Pepera 1969 yang dimulai di Merauke 14 Juli sampai terakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Saudara Pangdam, saya sampaikan beberapa fakta kecil tentang kekejaman militer Indonesia yang menciptakan penderitaan panjang Penduduk Orang Asli Papua di atas Tanah Leluhur kami sendiri.
Kekejaman dan kejahatan TNI sebagian kecil yang tulis dalam surat ini sebagai berikut:
(1) Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.
(2) Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).
(3) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Jenderal Amir Machmud pada 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan DMP menyampaikan janji-janji OMONG KOSONG sebagai berikut:
“… Pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia, …” (Sumber: UN Report A/7723, Corr.1, Annex 1, p.195, GA item 98, p.28, p.42, 19 November 1969).
(4) Jenderal Ali Murtopo mengancam, menteror dan intimidasi kepada peserta DMP (Dewan Musyawarah Pepera di Jayapura pada 2 Agustus 1969, sebagai berikut:
“Jika Anda ingin merdeka, sebaiknya Anda bertanya kepada Tuhan apakah Dia berbaik hati untuk membangun sebuah pulau di tengah Samudera Pasifik agar Anda bisa bermigrasi ke sana. Anda juga bisa menulis kepada orang Amerika. Mereka telah menyiapkan makanan di Bulan, mungkin mereka bersedia menyediakan tempat bagi Anda di sana. Siapa di antara kalian yang berpikir untuk memilih menentang Indonesia harus berpikir ulang, karena jika kalian melakukannya, kemarahan rakyat Indonesia akan tertuju pada kalian. Lidahmu yang terkutuk akan dipotong dan mulutmu yang jahat akan dibelah. Lalu, saya Jenderal Ali Murtopo, akan turun tangan dan menembak Anda di tempat.” (Sumber: Kesaksian Pdt. Origines Hokojoku dalam buku: Maire Leadbeater, SEE NO EVIL: New Zealand’s Betrayal of the people of West Papua: 2018: 154).
(5) Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya berjudul: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, mengakui: “seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka.”
(6) Ada ancaman, terror, dan intimidasi terbuka disampaikan oleh DANREM 172/PWY Kol. Kav. Burhanudin Siagian terlihat dalam media lokal Cenderawasih Pos, 12 Mei 2007 sebagai berikut:
“Pengkhianat Negara harus ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas negara, tetap masih saja mengkhianati bangsa, maka terus-terang, saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi-demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi ungkit-ungkit sejarah Pepera 1969 masa lalu.” (Sumber: Socratez Yoman: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat: 2007:346, ed.1).
Saudara Pangdam, seluruh kekejaman negara melalui militer ini melahirkan pelanggaran HAM berat yang berlangsung dari waktu ke waktu yang mengindikasikan terjadinya proses pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, masif, meluas, berkelanjutan, dan kolektif.
Saudara Pangdam, kekejaman dan kejahatan ini digambarkan sebagai LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno dengan tepat mengatakan: “Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal. 255).
“… kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal. 257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout, OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Penyebab LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia sudah ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar sejarah konflik atau akar kekerasan Negara di Papua. Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Saudara Pandam, melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun seperti ini, kita harus akhiri. Maka Saudara Pangdam (perlu) mendorong pemerintah Indonesia untuk duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Saudara Pangdam, saya sangat mengerti dan tahu, usulan penyeleyesaian seperti ini ditolak keras oleh para Jenderal dalam tubuh militer. Namun kalau menolak dan tidak setuju terus-menerus, maka HARUSKAH NKRI harga mati dipertahankan dengan cara-cara yang tidak bermartabat dengan menangkap, menyiksa, menembak dan menewaskan rakyat kecil?
Saudara Pangdam, hukum Tabur dan Tuai itu tetap berlaku kapan saja dan kepada siapa saja sesuai perilaku mereka. Tolonglah tertibkan anggota-anggota TNI yang berwatak barbar, kriminal, rasialis, dan seperti teroris yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan kami POAP itu, supaya hukuman dan murka Tuhan tidak menimpa mereka, keluarga dan anak-cucunya.
Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.
Ita Wakhu Purom, 23 Maret 2024
Gembala Dr. A.G. Socratez Sofyan Yoman, MA
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
2. Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
4. Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Kontak: 08124888458 / 081288887882