JAKARTA, Kompas 1 Net –Mama Aleta Baun yang akrab dipanggil Mama Aleta adalah Pembicara lingkungan hidup Dari NTT dalan Pertemuan Perempuan di Jakarta. Ia aktivis perempuan kelahiran Kabupaten Timor Tengah selatan dari suku moloh. Dalam pertemuan ini para Perempuan Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) berbicara di Teater Besar TIM jl. CIkini Raya Jakarta, mengangkat masalah lingkungan.
Tanggal 7 September 2022 Para Perempuan ini berkumpul untuk menghimpun pemikirannya terhadap Indonesia.
Di tempat itu hadir pula tokoh- tokoh wanita antara lain Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Hj. Dr. Chandra Motik, SH, MSc., Eva Susanti H. Bande, S.Sos, Mahdalena, SKM, MKM., Irma Natalia Hutabarat, S.S., serta para pembicara lainnya dengan panduan moderatir serta didukung panitia sukses menyelenggarakan Pertemuan Perempuan Indonesia-2022.
Pada kesemparan ini Mama Aleta berbincabg dengan Jurnalis, berbicara tentang lingkungan yang rusak.
Ia mengatakan, dalam kerusakan ini yang mengalami persoalan pertama kali adalah kaum perempuan. Karena sumber daya alam itu diibaratkan sebagai tubuh manusia yang sebenarnya hidup manusia tidak pernah bisa terlepas dari alam. Sebagai bagian dari kehidupan yang semestinya, alam harus dijaga dan dirawat sehingga alam itu bisa mensejahterakan makhluk hidup termasuk manusia.
Konon disebut sejahtera apabila lingkungannya nyaman, aman, air da tanahnya tercukupi, hutannya baik, tidak diganggu, maka dia disebut dengan sejahtera.
Airnya bersih, tanah cukup luas, sehingga produksinya tercapai bisa dapat pangan, sayuran, buah-buahan itulah orang sejahtera. Jadi bukan karena kaya atau menjabat jabatan strategis dalam pemerintahan.
Tetapi selama ini kita lihat bahwa sebenarnya di Indonesia itu banyak yang pemerintah kita merusak kekayaan alam dan mengatakan itu adalah mensejahterakan orang. Padahal itu bukan mensejahterakan, tetapi malah mengancam kehidupan masa yang akan datang.
Menjawab pertanyaan awak media, Mama Aleta menjelaskan, Perempuan NTT itu 80% sebagai petani 20% pegawai negeri .
Kalau mau melihat prosentase NTT sebagai petani 80% maka dia membutuhkan sumber untuk kehidupan itu.
Negara Indonesia tidak seperti di Amerika yang bisa membayar rakyatnya 100%.
Amerika rakyatnya sejahtera karena dia punya tanah yang cukup luas, sumber air mencukupi. Dia punya lahan yang tidak bisa diganggu oleh perusahaan-perusahaan.
Awak media selanjutnya bertanya, Apakah masaalah ini bisa diatasi negara?
Aleta menjawab,”kami sebagai narasumber tidak bosan -bosan untuk membicarakan dan tidak capek-capek untuk menyuarakan kalau rakyat Indonesia miskin, dan kami yang ada di NTT yang pembangunannya masih terbelakang. Kami miskin bukan karena malas tetapi kami dimiskinkan dengan berbagai macam cara” terangnya.
Pembangunan yang menguras habis kekayaan alam untuk kebutuhan orang Jakarta, bukan untuk kebutuhan orang daerah.
Kami terbelakang pendidikan bukan kami tidak mau sekolah tetapi karena kami terbelakang ekonomi .
Sampai sekarang listrik pun belum masuk desa sekitar 30 desa/ kampung belum masuk listrik.
Kalau kami di kampung gelap terus kekayaan alam kami diambil untuk kesejahteraan siapa ? Dengan pertanyaan retoris ini Mama Aleta menjelaskan bahwa dikampungnya dengan pemerintahan sekarang pun belum ada pemerataan ekonomi.
Kesulitan-kesulitan ini menurutnya, “Pak JokoWi sudah menjawab apa yang menjadi keluhan mereka tetapi yang melaksakan dibawah tidak berjalan.
Inilah yang kita tanyakan.Kalau disini, (maksudnya di Jakarta,red.)Jalan tol sudah berlapis-lapis aspalnya, sementara di NTT selapis pun belum ada aspal, masih jalan tanah.”
Kalau di Jakarta di udara ada jalan bawah tanah juga ada jalan, tetapi kami di daerah hanya ada satu jalan saja tetapi tidak pernah diperbaiki.
Ketika Awak media menanyakan bagaimana dengan anggaran daerah? Dia menjawab, Dia bukan pengurus di pemda.
Mama Aleta mengtakan dia bersuara karena sekarang sudah bisa berbicara untuk menyampaikan keluhan-keluhan masyarakat NTT.
Ada keluhan, tangisan, teriakan tiap hari, apakah ada orang yang mendengar teriakan itu?
Ada sebagian mengatakan karena mereka tidak ada kerja maka mereka kumpul-kumpul untuk bersuara.
Ia berharap bantuan media agar hal ini diangkat ke permukaan.
Seberapa penting pertemuan perempuan Indonesia ini bagi NTT?
Mama Aleta menjelaskan, kalau ada perubahan di pusat untuk mendengar saja saya pikir perempuan-perempuan di daerah lain termasuk di NTT pasti akan terbantu, tetapi kalau pusat tidak dengar bagaimana daerah mau mendengar, karena rodanya dipegang oleh Pusat.
Harapannya, Pak Jokowi dalam kepemimpinannya menegur apa yang belum berjalan. Selain itu Ia berharap suara-suara yang tadi menyuarakan aspirasi rakyat, suara para narasumber agar didengar oleh pemimpin-pemimpin dan para politisi.
Aleta juga menyinggung, “tahun 2024 sebagai tahun politik saya berharap mereka para politisi bisa merubah, apakah rakyat di NNT masih hidup, tapi tetap dalam kemelaratan? Apa mereka tetap senang dalam penderitaan orang lain?” Tutupnya.
(Nur Tanjung)