Jakarta | Kompas 1 Net –Lingkar Diskusi Indonesia (LIDI) gelar Webinar Bertema “Membangun karakter moderat, menghadapi gelombang Intoleran dan Radikalisme”, yang dapat diikuti melalui aplikasi Zoom Meeting Id : 821 9639 1307, Passcode : 473229. Selasa 7 Juni 2022, Pukul 13.00 WIB.
Webinar yang dimoderatori oleh Direktur eksekutif SUDRA Fadli Harahap ini menghadirkan narasumber diantaranya Wakil katib Syuriah PWNU DKI Jakarta KH. Taufik Damas. LC, Ketua GP AnshorLuqman hakim Pemerhati kebangsaan UIN Jakarta Dino brasco.
Dalam pemaparannya Narasumber KH. Taufik Damas. LC menyampaikan bahwa Islam yang notabene lahir di Tanah Arab, namun pengembangan dari awalnya di Indonesia beradaptasi dengan lingkungan sosial politik ke Indonesia-an,
“Walisongo menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Caranya adalah dengan lebih mengedepankan unsur budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Inilah yang justru dijadikan sebagai piranti dalam menyebarkan Islam. “Islam hadir memang dari tanah Arab. Namun dalam penyebaran agama Islam di Tanah Jawa, Wali Songo termasuk Sunan Ampel, selalu beradaptasi dengan kebudayaan lokal sesuai dengan kondisi sosial politik masyarakat setempat, pemahaman soal hal tersebut penting dan kontekstual pada saat ini. Metode dakwah seperti yang yang digunakan Sunan Ampel perlu ditiru. Kalaupun dimodifikasi sesuai kekinian, namun substansi pendekatan budayanya, seharusnya tak berubah,” paparnya.
Lebih lanjut dikatakan dia,”Bahwa dalam berdakwah itu tidak hanya mengajarkan masyarakat untuk mengerti betul tentang agama Islam. Tetapi juga harus memiliki sikap kebijaksanaan.”Karena kebijaksanaan merupakan proses berdakwah dengan penuh santun dan lebih mengedepankan ketenangan hati kepada masyarakat. Bagi saya agama yang benar yaitu yang moderat yang menghargai perbedaan visi dan misi nabi muhammad tidak pernah ada niat untuk mendirikan negara islam dan negara khilafah, ketika nabi hijrah ke madinah dan awal itu juga niat untuk membangun masyarakat yang berbudaya dan beradab.
Bagaimana Islam di Indonesia pertama kali menerima Alquran yang benar-benar asli. Ayat Alquran tersebut tanpa tanda dan syakal, dikhawatirkan tidak akan mampu membacanya karena tidak ada titik-titik, syakal, maupun penjelasan tajwid. Disampaikannya ketika Islam mulai berkembang dan banyak yang memeluknya, ada bentuk kekhawatiran tidak mampu membaca Alquran dengan benar sehingga mempengaruhi makna di dalamnya. Karena itu, agar dapat dibaca dengan benar dan pengertiannya dipahami, para ulama melakukan ijtihad dengan menciptakan titik-titik, tanda baca (syakal atau harakat), ilmu nahwu, dan ilmu tajwid.
Moderasi beragama, bernilai penting karena tidak ada hal di dunia ini yang mampu berdiri sendiri. Artinya, moderasi merupakan langkah untuk memahami bahwa ada sesuatu yang saling membutuhkan dan bergantung dalam hal apa pun contoh agama yang membutuhkan moderasi, karena mengantarkan manusia dari dunia menuju akhirat. Agama dalam konteks dunia saling membutuhkan dan bergantung dengan banyak hal. Salah satunya adalah haji dalam agama Islam yang berurusan dengan akhirat. Namun, proses haji itu membutuhkan pesawat yang justru dibuat oleh kaum Yahudi. Nah, konsep ini harus dipahami. Makanya, dunia ini sebenarnya adalah rangkaian dari sekian banyak perbedaan yang disatukan dalam sebuah penyatuan rangkaian rangkaian yang kadang kita tidak mengerti bahwa kita harus rukun dan saling memahami.
Meskipun demikian, moderasi beragama menghadapi permasalahan yang berasal dari internal umat Islam. Untuk mengatasi persoalan internal tersebut, agar umat Islam di Indonesia memahami konsep ra’iyyah, yaitu kullukum ro’in, wakullukum mas ulun ‘aro’iyyatihi. Artinya, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.
Moderasi merupakan sikap jalan tengah atau sikap keragaman yang hingga saat ini menjadi terminologi alternatif di dalam diskursus keagamaan, baik di tingkat global maupun lokal. Moderasi masih dianggap sebagai sikap keragaman yang paling ideal ketika di tengah kemelut konflik keagamaan mulai memanas. Beberapa prinsip moderasi beragama yang berhubungan dengan konsep Islam.
Namun masalahnya lain. Panji itu dianggap Bendera HTI organisasi yang terlarang hidup di Indonesia. Kejadian garut, secara sigap oknum Banser merampas bendera, yang mereka yakini sebagai bendera HTI. Tidak hanya cukup dirampas, tapi mereka mempertontonkan kegaduhan dengan membakar benderanya. Dari sinilah mulainya, menjadi viral di media sosial (medsos). Hampir semua platform medsos seperti facebook, twitter, instagram dan lainnya ramai menayangkan kejadian ini. Cukup panjang jika membicarakan Panji Rasulullah ini.
Dalam catatatan, Ar Rayah dan Al-Liwa adalah salah satu dari sekian banyak variasi bendera dan panji dalam Islam. Cirinya adalah warna dasar putih dan hitam. Al-Liwa sebagai bendera Islam berwarna dasar putih dan tulisan hitam dengan ukuran besar. Sementara Ar-Rayah sebagai panji perang berukuran lebih kecil, digunakan saat berperang, dan dipindahtangankan dari kalifah ke panglima atau komando pasukan perang, gunanya untuk sebagai tanda memimpin pasukan dan menakuti musuh dalam keadaan perang. Kecaman terhadap pembakar bendera muncul dari berbagai kalangan ummat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun melihat yang dibakar adalah bendera berkalimat Tauhid bukan HTI pun dengan yang lain-lainnya kecaman terus mengalir,” papar KH. Taufik Damas. LC, mengakhiri.
Luqman hakim yang diberi waktu untuk menyampaikan materinya menyatakan bahwa ianya berharap masyarakat sadar dan bersama sama untuk mencegah berkembangnya ajaran ajaran intoleransi dan radikalisme, Dikatakannya,” Saya berharap, agar di masyarakat tumbuh kesadaran dan swadaya pencegahan berkembangnya ajaran-ajaran intoleran dan radikal yang berujung aksi-aksi terorisme. Swadaya pencegahan ajaran radikal akan efektif jika muncul dari masyarakat sendiri. Kunci pertahanan utama adalah masyarakat. Misalnya ada orang baru yang masuk ke lingkungannya, tentu harus silarurahim dan dialog. Jangan sampai dicueki. Biar clear, orang yang datang benar-benar bersih dan tidak terpapar ajaran radikal, Dialog, silaturrahmi dan gotong royong, adalah akar budaya asli Indonesia yang telah terbukti menjadi penangkal masuknya ajaran radikal,” ungkapnya.
“Budaya asli Indonesia seperti itu telah mendarah daging di masyarakat. Tinggal bagaimana kita gelorakan kembali budaya itu secara massif, berharap, lembaga dan aparatur negara yang di dalamnya ada TNI, Polri dan BNPT agar bersinergi dengan masyarakat pada level yang paling bawah di tingkat desa. Urusan keamanan dan mempertahankan NKRI dari rongrongan radikalisme dan terorisme, menjadi tanggung jawab bersama. Upaya menumbuhkan kembali keswadayaan masyarakat untuk melawan radikalisme dan terorisme ini penting segera dilakukan oleh negara.
Menurut Luqman, pola gerakan terorisme di tanah air belakangan ini mengembangkan strategi dengan memanfaatkan media sosial dan kecenderungan masyarakat yang kian individualistik. Aparatus negara tidak akan efektif melakukan pencegahan dan penindakan terhadap gerakan terorisme, jika tidak melibatkan masyarakat. Karena itu, negara perlu secepatnya merumuskan program fasilitasi untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat agar memiliki keberdayaan mencegah ajaran radikal dan terorisme di lingkungannya sendiri.
Semua kader Ansor, terlepas apa pun partainya, selalu menjunjung tinggi semangat politik Islam ahlusunah wal jamaah sesuai dengan semangat Nahdlatul Ulama (NU), yang di dalamnya harus merawat kebinekaan, menjaga toleransi, dan mempertahankan NKRI. kami akan menjadi benteng dalam mempertahankan Pancasila, kebinekaan, antiradikalisme, dan bentuk final NKRI, penegasan ini didasarkan pada analisis pengamat yang memprediksi masih akan munculnya anasir Islam radikal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pascakekalahan ISIS, serta dari sayap Islam radikal yang lain. Gerakan dari kelompok tersebut akan mengancam kebinekaan dan NKRI.
Perilaku terorisme 47,3% adalah anak muda dengan rentang usia 21-30 tahun, dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas sebesar 63,6 %. Ini artinya ini adalah usia anak anak yang masih menjari akan jati diri, butuh pengakuan dan perhatian,” kata Ikhwan. Menurutnya, proses radikalisasi itu sendiri melalui 5 proses tahapan, yaitu pendekatan, perekrutan, pembalatan, pembinaan, pembinaan yang berujung pada Amaliyah Jihad. “Amaliyah jihad ini dapat berupa penggalangan dana, perekrutan anggota baru, pelatihan, perampokan, pembunuhan serta dapat berupa bom bunuh diri,” tambahnya.
Terorisme pada dasarnya bisa melekat pada ideologi mana saja, pengikut agama apa saja, dan siapa saja. Terorisme bisa melekat di kelompok radikalis, juga bisa melekat di kelompok ekstremis, juga di kelompok separatis. Pada gerakan terorisme agama, faktor penyebaran pahamnya mudah karena ada persoalan psikologis, lalu ada politik, ada ekonomi bahkan sosial yang dibalut dengan doktrin agama. Langkah pencegahan bisa dilakukan dengan mendorong anak muda ini untuk menambah pengetahuan dan literasi, berpikir dan bersikap kritis terhadap informasi yang diterima, menumbuhkan rasa empati terhadap sosial, dan memahami eksistensi diri.
Mencita-citakan Negara Islam. Beruntung hanya pada tahap radikalis. Sebelum terjerumus ke arah aksi terorisme saya sadar kalau paham ini tidak benar. Setelah itu saya keluar dan mengajak orang-orang agar tidak terjerumus. Pola-pola perekrutan melalui sekolah dan kampus, dilakukan dengan cara mendekati anak-anak baru, diajak kajian-kajian yang dekat dengan permasalahan seputar anak muda, setelah terjadi interaksi yang nyaman calon korban yaitu anak anak sekolah atau mahasiswa tersebut diajak bicara dengan lebih mendalam tentang paham radikalisme dan terorisme tadi, dan umumnya penanaman paham ini masuk dari para alumni, atau dari luar, yang kemudian meluas masuk ke OSIS, ROHIS, BEM, aktivis masjid,” Pungkasnya.
Sementara itu Dino brasco, pula memaparkan bagaimana lahirnya kelompok kelompok radikal, menurut Pemerhati kebangsaan UIN Jakarta ini salah satunya cenderung dari lintas aliran. Berikut penuturannya,
“Kelompok radikal cenderung lintas aliran, mazhab, dan agama. Kelompok radikal menembus batas geografis, etnik, dan negara. Kelompok radikal dicirikan dengan pikiran dan gerakannya yang menolerir kekerasan sebagai bagian dari solusi. Kelompok radikal biasa diartikan sebagai kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis dan secara fanatik berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Kelompok radikal tidak identik dengan kelompok keras atau fanatik suatu agama. Kelompok radikal ini bisa menolerir berbagai cara dalam memperjuangkan tujuannya, termasuk cara-cara teroris dan bunuh diri serta cara-cara keras lainnya.
“Berusaha mencari pengaruh dan simpati di dalam masyarakat luas dalam rangka memperkenalkan ideologi mereka. Gerakan-gerakan kemanusiaan mereka galakkan, seperti terlibat di dalam kelompok advokasi dan bantuan terhadap kelompok-kelompok yang berkepentingan, seperti memerikan bantuan terhadap korban gempa bumi.
‘Mengklaim kelompoknya sebagai kelompok paling benar, sedangkan kelompok lain dinilai keliru dan sesat. Dan Secara eksplisit atau implisit kelompok ini memiliki niat dan kecenderungan untuk mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Intensitas perjuangannya tergantung situasi yang dihadapannya.
Berupaya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi mereka. Dan ada usaha untuk mengganti NKRI dengan konsep Khilafah. Nasionalisme dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam yang difahaminya sebagai ajaran yang bersifat universal, tidak bisa dijinakkan oleh kultur dan ideologi lokal. Serta Pola keberagamaan mereka biasanya bersifat ekslusif, baik pakaian, prilaku, pertemanan, maupun dalam menjalankan praktek ritual keagamaan
Kalau dilihat dari aspek kesejarahan, kata “radikalisme” (berasal dari akar kata Latin “radicalis” dan juga “radix” yang berarti “akar” atau “memiliki akar”) muncul dalam konteks perlawanan sosial-politik rakyat terhadap dominasi, tirani dan kepongahan rezim penguasa yang bertujuan untuk melakukan reformasi dan perubahan mendasar atas sistem sosial-politik-ekonomi-hukum agar lebih pro dan bermanfaat untuk rakyat banyak. Kata “akar” disini maksudnya bahwa sebuah perubahan politik, Dalam pengertian ini maka radikalisme merupakan sesuatu yang sangat positif. Berbagai garakan sosial-politik kontra rezim politik-pemerintahan seperti fenomena Arab Spring atau yang belakangan ini melanda di sejumlah negara d Timur Tengah seperti Lebanon dan Irak adalah contoh dari “radikalisme” itu. Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia yang menentang dan menggulingkan rezim Orde Baru juga salah satu contoh dari radikalisme itu. Begitu pula banyak kasus-kasus radikalisme dalam konteks “perlawanan rakyat atas rezim otoriter” yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara,” imbuhnya.
Lebih lanjut Urainya,” Pada awal penyebaran Islam di Nusantara oleh para wali songo, situasi damai dan kondisi toleran terjadi melalui interaksi keragaman budaya kehidupan lokal, bahkan pada masanya islam dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain dan kepercayaan lain (Asrori 2015). Pada masa pasca kemerdekaan RI separatisme mengatasnamakan Islam mulai terlihat melalui gerakan pemberontakan yang terjadi seperti Kartosuwiryo tahun 1950 dengan nama DI/TII. Belakangan ini karena faktor kontigensi yang ada bermunculanlah sekte, aliran, dan mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi lingkungan pendukung didaerah penganutnya (Asrori 2015). Pasca reformasi 98 yang ditandai dengan bebasnya filter demokrasi dan kebebasan berpendapat lebih didahulukan dibanding penegakan hukum, maka radikalisme telah menjadi lahan subur ditandai munculnya kelompok paham baru termasuk paham agama mengatasnamakan Islam radikal.
Paham radikalisme dikalangan umat beragama islam seringkali disamakan dengan paham keagamaan padahal berbeda konteks dan tujuan dari apa yang diajarkan islam, pencetus radikalisme lahir dari berbagai kontigensi, mulai dari permasalahan ekonomi, kondisi politik, ketidakadlian sosial dan hukum dan isu marjinal pada kehidupan masyarakat. Pola organisasi paham radikal bervariatif mulai dari gerakan moral ideologi hingga militan bergaya militer. Organisasi ini memiliki tujuannya, tetapi yang menjadi penyamaan tujuan adalah mengganti kekuasaan negara dengan cara menggulingkan pemerintahan dan politik yang sah.
Demikian Webinar dengan tema “Membangun karakter moderat, menghadapi gelombang Intoleran dan Radikalisme ”,yang di selenggarakan oleh Lingkar Diskusi Indonesia (LIDI) yang berlangsung selama 1 jam setengah berlangsung hingga selesai.
Sumber rls
Redaksi