Saya tiba tiba pagi itu ditelpon seorang advokat muda kota Dumai.
Dia minta ijin meminta saya sebagai ahli dalam sebuah perkara; penebangan pohon bakau (mangrove) dan pohon pesisir lainnya.
Setelah turun ke TKP, kota Dumai bagian pesisir hampir mencium bibir pantai berlumpur. Disitulah kami berlabuh dengan carteran Boat mesin 40 PK dibawa lelaki separuh baya, riang perawakannya.
Tiba dilokasi ditemani Pak RT dan mantan Ketua BPD, saya langsung beraksi. Pantau lanskap, observasi keadaan ekologi, lihat bukti petunjuk, status kawasan, bla bla.
Titik koordinat serta overlay Perda RTRW plus SK 903 menunjukkan areal Hutan Produksi Terbatas (HPT). Tapi yang menarik rumusan delik yang digunakan jatuh ke Pasal 170 KUHP. Disinilah hati saya mulai bertanya tanya. Ada misteri penuh pukau dalam kasus pohon bakau.
Delicts Bestanddelen
Jika mengerling ke Delicts Bestandden (substansi delik) Pasal 170 KUHP mendefinisikan Penyerangan dengan Tenaga Bersama Terhadap Orang Atau Barang.
Lebih tegas, ” Barangsiapa dengan terang terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Maka dapat dijelaskan bahwa, clue nya “Melakukan Kekerasan”, ” Dimuka Umum”, :Bersama sama” dan Ditujukan kepada orang atau barang.”
Perasaan saya mulai tergelitik. Apakah menebang pohon dalam suatu kawasan ekologi tertutup dan jauh dari pemukiman warga merupakan suatu perbuatan kekerasan, dimuka umum, dan merusak orang atau barang sehingga mengganggu (openbare orde= ketertiban umum?).
Ruh delik dari pasal 170 KUHP itu, sedekat pemahaman penulis, terletak pada unsur mans rea (motif) kekerasan karena faktor emosional dan kekacauan sosiologis.
Delik ini dengan mudah dapat dilihat pada kerusuhan tanggal 27 Juli 1996 di Jakarta, yaitu penyerbuan kantor PDI Perjuangan Pimpinan Megawati oleh kelompok Soerjadi dengan mengamuknya massa sehingga banyak gedung dan kendaraan yang rusak atau terbakar.
Kekerasan di Pekalongan, Tasikmalaya, Kalbar, Banjarmasin, Sampang semuanya terjadi sebelum, sedang dan sesudah Pemilu 1997. Begitu pula demonstrasi menuntut pemekaran daerah Sumatera Utara menjadi propinsi Tapanuli pada hari Selasa tanggal 3 Februari 2009 di Medan, yang berkembang menjadi kerusuhan, pemukulan Ketua DPRD Abdul Aziz Angkat yang mengakibatkan kematiannya, sejumlah staf terluka, serta perusakan gedung DPRD dan perabotnya.
Disinilah seorang ahli hukum, advokat, jaksa, polisi dan hakim harus meresapi jiwa dan sejarah Pasal 170 KUHP. Bagaimana memahami makna “vis publica’, “force ouverty” dan gewald (kekerasan) sebagai tema sentral kriminologi.
Lex Specialis; Sebuah Jawaban
Untungnya, kebingungan saya terjawab oleh adagium sakti ini, Lex Specialis Derogat Legi Generali
Ketika lain padang lain belalang, maka sang Lex Specialis -lah yang bertugas memberikan application policy mengatur “mata jala” yang cocok untuk jenis ikannya.
Ibarat wasit Olimpiade yang bikin kesal anak indonesia kemarin, “game rules” dari sang lex spesialislah jawabnya.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali berlaku bukan di dalam menyikapi suatu perbuatan yang dikenal tatbestand dengan suatu aturan pidana yang ada di dalam KUHP, namun diutamakan terhadap aturan pidana yang ada di dalam UU di luar KUHP.
Tentu tak lazim, bila pohon bakau ditebang budak budak Dumai itu setara amuk aura Jebat di Laman Raja Malaka. Atau Reformasi 1998 di Senayan yang fenomenal itu.
Pohon pohon bakau ditepi pantai, keaneka ragaman hayati bukan pula barang yang -turut serta – jadi akibat kekerasan yang ditontonkan dimuka umum (vis publico).
Disana ada instrumen hukum spesialis menanti. Ada UU Kehutanan, UU Pemberantasan Kerusakan Hutan, UUPPLH dan seterusnya.
Tapi saya sepakat dan salute, kerusakan dan perusakan hutan, pohon fauna dan kekayaan alam harus dihentikan. Supaya kelak, cucu cicit bangsa ini bisa menikmati pekik sayup kera pohon bakau. Dan busut tembakol yang tergerus dilambai samudra Selat Malaka.
Elviriadi Ph.D adalah Staf Ahli Perkumpulan Paralegal Nasional dan Ahli Lingkungan