KPK Kawal Percepatan Penertiban Galian C Ilegal di Lombok Timur

NTB, Kompas 1 net – Lemahnya pengawasan dan penertiban galian C oleh pemerintah daerah (Pemda) dapat membawa berbagai dampak negatif, baik bagi keuangan daerah, lingkungan, maupun masyarakat. Apalagi, ditambah tidak adanya regulasi dan pengawasan yang jelas dari Pemda. Jika terus dibiarkan, Pemda bisa kehilangan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga menghambat kemajuan daerah, salah satunya seperti yang terjadi di daerah Lombok Timur (Lotim), Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dari 208 galian C yang ada di Gumi Selaparang ini, 53 diantaranya tercatat ilegal. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V, turut mengawal percepatan penertiban galian C ilegal. Setelah melaksanakan rapat koordinasi dengan Pemda Lotim pada Kamis (13/6), Tim Korsup Wilayah V terjun langsung bersama Pemda untuk meninjau lokasi galian C yang diduga ilegal tersebut, pada Jumat (14/6).

Bacaan Lainnya

“Penertiban galian C, mulai pajak hingga volume muatan, yang dilakukan secara optimal bisa menjadi salah satu kunci utama untuk menyejahterakan daerah. Jika dikelola dengan baik, dapat menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan, yang ujungnya bisa dimanfaatkan juga bagi masyarakat,” ucap Kepala Satgas Korsup Wilayah V Dian Patria, saat meninjau salah satu galian C diduga ilegal yang sudah dikeruk selama lima tahun dengan kedalaman 15-20 meter, terletak di Desa Pringgasela Timur, Lombok Timur, Jumat (14/6).

Sayangnya, selama peninjauan hingga ke pos pengecekan dump truck Lotim, Dian melihat pemda kurang tegas dalam menindak dan mengoptimalkan pajak daerah. Misalnya, masih banyak truk yang mengangkut muatan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) melebihi batas yang diizinkan. Truk-truk tersebut tidak menggunakan penutup terpal, sehingga berpotensi mencemari lingkungan dan memicu kecelakaan. Namun, ketika diperiksa di pos pengecekan, truk-truk ini tidak dikenakan sanksi.

Lalu, kuasi/karcis pajak yang memiliki 3 warna berbeda namun tidak jelas ditujukan pada siapa (supir, pembeli, atau pemda) yang memungkinkan jadi celah potensi penyalahgunaan. Terakhir, saat ditinjau oleh tim Korsup Wilayah V, pos pengecekan yang berada di perbatasan Lotim-Lombok Tengah tidak ada pertugas jaga, padahal hampir setiap 5-10 menit sekali ada truk muatan yang masuk ke lokasi pengecekan.

“Ada banyak kebocoran (celah korupsi) di sana. Dump truck yang membawa material galian C kelebihan muatan juga akan merusak infrastruktur yang mengakibatkan kerugian negara. Belum lagi ⁠tidak mudah memastikan integritas petugas di lapangan dengan cara seperti saat ini. Lebih baik pakai jembatan timbang yang harganya kurang lebih Rp800 juta. Tidak perlu lagi ngukur-ngukur berapa volumenya, berapa harganya, karena sudah tertera. Si pembeli atau supirnya tinggal bayar pajak sesuai dengan aturan Perda Nomor 10 Tahun 2010 dan Perhub Nomor 18 Tahun 2015. Kan lebih simpel,” jelasnya.

Adapun rekomendasi lain yang diberikan oleh KPK setelah dilakukan peninjauan, yakni sebaiknya petugas dari Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) bisa memusatkan pemungutan pajak di pos perbatasan dengan Lombok Tengah; penyesuaian warna karcis; memastikan keamanan sarana angkutan; membantu perizinan tambang ilegal dengan one stop service di setiap daerah dengan menghadirkan pihak dari provinsi.

Penyelamatan Aset Daerah

Selain menertibkan galian C ilegal, KPK juga turut membantu Pemda Lombok Timur (Lotim) menyelesaikan sengketa Mata Air Ambung di Desa Rempung, Kecamatan Pringgasela, sebagai penyelamatan aset daerah, serta penertiban pajak restoran dan hotel di Lotim yang masih belum menerapkan pajak 10%.

Terkait sengketa mata air yang melibatkan Pemda dan pihak ketiga yang mengklaim kepemilikan mata air tersebut, Bupati Lotim, Muhammad Juaini Taofik, meminta KPK menjadi mediator setelah 6 tahun Pemda dan pihak ketiga dimaksud saling menggugat terkait kepemilikan mata air.

Sengketa ini mengakibatkan penutupan Mata Air Ambung oleh pihak ketiga sejak 2022, karena tuntutan ganti ruginya yang diklaim telah disepakati kedua belah pihak sejak 2019 tidak juga dibayarkan. Penutupan itu pun berdampak pada 800 KK yang mengalami kekeringan. Akhirnya, untuk memenuhi kebutuhan air tawar bersih, Pemda membuat sumur bor dengan biaya operasional Rp120 juta dan biaya listrik mencapai Rp30 juta per bulan, sejak penutupan.

“Mata air Ambung kan gravitasi tanpa biaya, hasil bumi, jadi bisa menghemat biaya listrik. Apalagi saat ini juga kita sudah kekurangan air mineral. Kalau saya pilihannya mengambil kembali aset daerah ini. Makanya kami meminta bantuan KPK dalam hal penyelesaiannya,” ucap Juaini.

Dian Patria menyambut baik permintaan Juaini. Menurutnya, sesuai pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Air tertulis bahwa Sumber Daya Air tidak dapat dimiliki oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha. Sehingga Mata Air Ambung seharusnya dikelola Pemda untuk menjamin hak masyarakat akan kebutuhan air bersih.

“Kita langsung melakukan peninjauan ke lokasi sambil memfasilitasi mediasi antar Pemda dan pihak ketiga dimaksud. Artinya memang air itu dari awal milik negara dan harus kembali pada negara untuk masyarakat. Berbeda halnya dengan tanah, yang memang bisa diperjualbelikan,” jelas Dian.

Pihaknya menegaskan akan terus melakukan pendampingan pada proses penyelamatan aset daerah Lotim, agar masyarakat bisa merasakan kebermanfaatannya dan jauh dari kekeringan.

Sumber dikutip dari laman KPK RI.

Pos terkait