Kompas 1 net – Pemerintah menerbitkan peraturan baru tentang tata cara pinjaman untuk mendanai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Melalui peraturan itu, Koperasi Merah Putih bisa mengakses pinjaman hingga Rp 3 miliar dari bank himbara dengan bunga tetap 6 persen per tahun, tenor 6 tahun, dan masa tenggang 6-8 bulan.
Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Cicilan kredit berlangsung setiap bulan dengan jatuh tempo setiap tanggal 12. Uang pinjaman bisa digunakan untuk mendanai unit usaha desa, seperti toko sembako, simpan pinjam, apotek desa, gudang pendingin, dan logistik lokal sesuai potensi desa/kelurahan.
Pada PMK yang ditetapkan dan diundangkan 21 Juli 2025 itu disebutkan, pinjaman diberikan setelah koperasi mendapat persetujuan dari bupati/wali kota atau kepala desa berdasarkan hasil musyawarah pembangunan kelurahan atau desa. Persetujuan itu termasuk penggunaan dana desa atau Dana Alokasi Umum (DAU)/ Dana Bagi Hasil (DBH) untuk mendukung pengembalian pinjaman.
”Soal akses pembiayaan Koperasi Merah Putih sudah diatur di PMK Nomor 49 Tahun 2025. Plafon pinjaman setinggi-tingginya ialah Rp 3 miliar. Plafon pinjaman, ya, bukan bagi-bagi uang negara,” ujar Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan saat konferensi pers hasil rapat koordinasi terbatas Operasionalisasi dan Pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Selasa (29/7/2025),di Jakart, dilansir dari Kompas.id
Setelah dikeluarkannya landasan hukum mengakses pinjaman dari bank himbara, Zulkifli mengatakan bakal ada pendampingan pembuatan proposal bisnis ke setiap Koperasi Merah Putih. Upaya ini akan dilakukan pemerintah pusat, seperti Kementerian Koperasi. Sejalan dengan kebijakan itu, dia mengatakan akan ada juga penyempurnaan peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal serta peraturan Menteri Dalam Negeri yang terkait dengan penggunaan dan pengelolaan keuangan dana desa.
”Jadi, sebisa mungkin ini (implementasi Koperasi Merah Putih) tidak menggunakan APBN. Tidak mengurangi anggaran belanja APBN ke koperasi,” ucap Zulkifli.
Saat konferensi pers, dia juga memaparkan hasil rapat koordinasi terbatas lainnya. Misalnya, pembentukan satuan tugas Koperasi Merah Putih per kabupaten/kota yang sudah mencapai 300 unit, penyempurnaan model bisnis koperasi, dan diperbolehkannya pemakaian gedung aset pemerintah/negara untuk tempat koperasi beroperasi.
Menyoal risiko dana desa dan DAU/DBH dijadikan penjamin kredit, Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi, yang turut hadir dalam konferensi pers, mengatakan agar publik tidak langsung berpikir negatif. Publik perlu mendorong agar Koperasi Merah Putih menghasilkan untung.
”Sebaiknya berpikir kalau Koperasi Merah Putih untung. Apabila untung, semua manfaat diberikan ke masyarakat desa. Jangan berpikir kredit macet dulu,” ucapnya.
Kehadiran PMK Nomor 49 Tahun 2025, menurut Budi, perlu sosialisasi khusus dan mempersiapkan koperasi supaya dapat memenuhi persyaratan serta membuat rencana bisnis yang baik dan layak. Dengan demikian, Koperasi Merah Putih bisa mengakses kredit dari bank himbara.
Dia menekankan, pinjaman yang berasal dari bank himbara itu akan lebih banyak digunakan untuk modal kerja, bukan untuk membangun gedung. Terkait gedung, mereka bisa memanfaatkan aset pemerintah/negara yang sudah ada seperti disampaikan Zulkifli.
Pihak aparat penegak hukum akan ikut mengawasi pemakaian yang benar. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menjawab pertanyaan media seusai menghadiri konferensi pers hasil rapat koordinasi terbatas Operasionalisasi dan Pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Selasa (29/7/2025),di Jakarta.
”Terkait teknis dana desa jadi jaminan, nanti ada tugas kementerian lain yang mengatur. Kalau kami mendorong agar nanti dalam undang-undang perkoperasian yang baru, program Koperasi Merah Putih direkognisi,” ucap Budi.
Sehari sebelumnya, Senin (28/7/2025), Direktur Jenderal Strategi dan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menuturkan, risiko kredit dalam skema yang tertuang di PMK Nomor 49 Tahun 2025 dapat diminimalkan karena koperasi yang disasar telah memiliki pangsa pasar tetap. Misalnya, distribusi sembako, obat-obatan, pupuk subsidi, dan kerja sama dengan BUMN.
”Dukungan ini diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian di tingkat desa dan kelurahan,” kata Febrio di kantor Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta.
Lebih lanjut, Febrio mengatakan, pemerintah telah menyiapkan regulasi pendukung, termasuk PMK terkait tata cara penempatan dana. Pemerintah daerah juga didorong memperkuat peran melalui kebijakan intersepsi dana desa sebagai jaminan pembiayaan.
”Mekanisme ini dirancang dengan prinsip kehati-hatian dan berbasis permintaan serta mengacu pada tata kelola pembiayaan perbankan yang berlaku,” ucapnya.
Pemindahan risiko
Saat dihubungi secara terpisah, Selasa (29/7/2025), peneliti Indonesia Budget Center, Roy Salam, berpendapat, jika Koperasi Merah Putih tidak sanggup mencicil utang dari bank himbara, dana desa yang termasuk anggaran publik untuk layanan dasar masyarakat akan tersedot menutup hutang.
Hal ini bukan sekadar mekanisme jaminan teknis, melainkan bentuk pemindahan risiko keuangan dari lembaga keuangan ke anggaran publik.
”Risiko ketika dana desa jadi agunan dan koperasi gagal mengelola usaha adalah dana desa setiap tahun pasti akan berkurang seiring dengan jumlah pokok utang dan bunga yang harus dibayar,” ucapnya.
Aset pemerintah desa, seperti gedung balai desa, tidak bisa jadi agunan pinjaman ke bank himbara. Hal itu tidak tertuang di PMK Nomor 49 Tahun 2025. Menurut Roy, pengembangan usaha Koperasi Merah Putih umumnya akan memakai aset gedung baru. Kalaupun harus memakai aset lama, seperti balai desa, pengurus koperasi tetap perlu merombak ulang.
Sementara itu, Director of Fiscal Justice Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar memandang PMK Nomor 49 Tahun 2025 mengatur bunga rendah dan masa tenggang yang longgar. Hal ini berpotensi memicu kesembronoan pengurus koperasi.
Adanya ketentuan dana desa dan DAK/DBH menjadi jaminan juga berpotensi merugikan masyarakat luas, terutama yang tidak terlibat dalam koperasi. Dana tersebut merupakan dana rakyat yang seharusnya diperuntukkan
”Meski pemerintah mengatakan pembiayaan koperasi tidak memakai APBN, kenyataannya pembiayaan memakai bank himbara.
“Jika rasio kredit bermasalah tinggi, dampaknya menyasar ke reputasi bank himbara. Posisi bank himbara tidak diuntungkan dalam hal ini, apalagi tata kelola Koperasi Merah Putih sejauh ini ’berantakan’,” paparnya.
Dia menambahkan, seandainya aset pemerintah desa disalahgunakan, seperti untuk penjaminan tanpa perjanjian penggunaan, hal itu akan merugikan masyarakat desa juga. Dia berharap, ada petunjuk teknis yang jelas mengenai pemakaian aset pemerintah untuk kepentingan koperasi.
Berdasarkan laporan riset Celios (Juni 2025), 76 persen perangkat desa menolak skema pembiayaan Koperasi Merah Putih melalui pinjaman bank himbara yang jaminannya dibebankan pada dana desa. Celios menghitung, potensi kebocoran anggaran negara hingga Rp 60 juta per tahun dengan 6,8 persen dana berisiko mengalir ke sektor ekonomi bawah tanah.
Ade Irawan (tores)