*Ketika Riau Tak Mencintaimu, Tuan!* *Oleh : Elviriadi*

Pekanbaru | Kompas 1 Net–Sore itu, Mantan Wakil Bupati tanah jantan “Meranti” tampak suram. Dengan suara tertekan ia memaksa bicara, ” pak Doktor dan adik adik, dulu tanah Melayu kite ini tentram damai, tak ade berebut rebut tanah macam sekarang, ” ujarnya lirih. Hadirin mendadak hening tapi beku, bukan karena AC yang dingin dan diluar gerimis mulai turun.

Seseorang angkat bicara. Oleh itu, kami anak anak muda Riau ini akan berjibaku kanda. Tersebab Kita sudah muak dengan janji janji korporasi, para perusahaan yang masuk ke negeri ini. Kita rakyat Riau sudah lama tak dipedulikan, sehingga lama lama cinta dulu yang pernah dipaksa tumbuh, kini telah benar benar mati, ” kata anak muda berambut gondromg yang diikat karet gelang.

Begitulah akhirnya, Riau -meminjam frasa budayawan UU.Hamidy, hanyalah sebuah *padang perburuan*. Hutan rimba belantara tempat pelanduk berlarian manja, kini jadi sumber petaka. Sungai sungai bagi orang Melayu bukan saja diambil ikannya, tapi disitulah pertemuan dua jalur saudara mara. Bercengkerama dalam silaturahim humanisme tak berbatas selatan utara. Bersampan dikala senja, dan adakala tebing tinggi “singgahan” memadu cinta.

Hutan Perajut Mesra

Wahai Tuan Korporasi…yang selalu berlindung dibalik investasi. Kalian mungkin tak tau, atau kura kura dalam perahu, bahwa ketentraman hidup kami bermastautin dalam pagar alam rimba raya. Dari alam rimba yang penuh pukau pesona, tetua arif kami mencipta dunia bahasa (Melayu), dunia kreatif, perenungan kontemplatif, yang terjalin rapi dalam kesakralan adat, meresap dalam relung budaya sehingga berputik akal budi. Ya, akal budi yang menolak eksploitasi dengan alibi dan “tangan besi”.

Bagi kami, Tuan, Rimba dengan pelbagai fauna dan flora, sungai dan suak, ceruk dan rantau, mengilhamkan imaji kampung Melayu yang sasa. Sebuah impian puak yang rindu ke-diam-an, kebajikan dan pembagian ruang hidup dengan seksama tanpa kata paksa. Imajinasi Melayu bukan resep untuk menjadi ras arya yang perkasa, rasa superior dan ego puak yang berhasrat menolak segala yang datang dari luar. Rimba bagi kami tak bisa ditumpuk segepuk menjadi industri. Lalu biawak, kumbang, harimau, belalang, sentadak, tokek, semut, cacing, tungau dan lipan dianggap apa? Mereka lari lintang pukang tanpa tujuan?? Sungguh sanubari Tuan tak ber peri-kekumbang-an dan peri-kecacing-an. Bagi kami hutan perlambang tali rajutan kemesraan, berpangku-pangku dengan hewan, menyatu rasa dengan tumbuhan, berpeluk pohon rindang kenyamanan, dan resapi ekologi ciptaan Tuhan. Rimba kemudian merecup menjadi berpusu-pusu pantun dan ungkapan, riuh rendah dalam kehalusan prosa, menyuarakan suara hati yang bersambut kicau burung di kala pagi. “Di atas pulau gambut ini, peluh kita pernah tumpah, dibawa anak sungai yang menjalar di akar-akar bakau. Sampan tua yang mengapung, di atas harapan dan doa, kita dayung menuju muara. Tempat ikan-ikan mengaji laut dengan siripnya….”begitu seorang teman berkata.

Bertepuk Sebelah Tangan

Kerapatan hutan nibung, tidak saja menjadi sumber katahanan pangan pribumi, protein nabati, atau sayur lalap sarapan pagi. Tetapi nibung telah jadi benteng Tuanku Tambusai dan Raja Haji Fisabilillah berlawan dengan penjajah Belanda. Harimau jadi kawan seperjuangan, “nenek” kata Talang Mamak. Beruk dan kancil jadi tamsilan, tempat emak bapak kami mengantar tidur anaknya. Gambut jadi markaz keriangan hewan melata yang menghias senja, tempat jejak kaki budak-budak Sungai Apit berlari telanjang dada, menanti matahari hilang ke peraduannya. Cintamu bertepuk sebelah tangan Tuan Korporasi. Tersebab logika kami adalah segan silu penuh cinta, sikap harmoni yang tiada tara laksana siulan daun keladi di malam gulita. Sedangkan Tuan hendak memberangus apa yang ada. Dimata tuan dunia ini adalah “duit”, hepeng mengatur negara.

Lalu sekonyong konyong, Tuan datang membawa peta dan merajah hutan rimba tak kepalang luasnya. Datang menambur janji bak perawan di pangkuan pujangga, ternyara oh ternyata, kampung dan hutan Riau porak poranda laksana diaruk burung garuda.

Uuuuhhh……. “Hanya solilokui. Belajar mendengkur tanpa suara. Daun-daun bergesek telah melahirkan gema yang lain.” Bukan gaung keresahan, tapi dendang luka yang diam-diam merekah dalam jiwa. Begitukah? Lalu kota minyak yang kurus itu, kampung sialang yang pupus, dusun hutan yang hangus, pulau ikan yang mampus, sungai sungai yang tandus, limbah limbah yang terendus, udara busuk menguak ingus, atau pelosok tanah air yang diberangus, apakah mungkin ditumpuk dalam kardus dan dihanyutkan ke seberang tempat dulu kita pernah dikhianati?

Cintamu bertepuk sebelah tangan, Tuan korporasi. Tersebab sumber mata pencaharian, danau dan tanah pekuburan, situs sakral, tumpas dan tewas dihadang secarik kertas. Di back up serentetan ilmuan haus materi, yang mudah menggadai harga diri. Suara suara traktor dan alat berat tak pelak menjadikan anak kemenakan melarat. Kampung sialang penyimpan madu orang Petalangan dan Talang Mamak segera pupus, memadamkan api intelektual Tenas Effendy yang telah lama memeluk resam para bung di Petalangan, Kerajaan Pelalawan. Dusun hutan yang hangus tetapi Si Atan pula yang menanggung penjara.

Akhirnya, bung Marhalim pun berduka; “Mungkin air merah dari akar gambut yang memandikan ingatan kita, tentang Sakai yang telanjang disesai suku kota, tentang Duano yang memancing biota di antara arus angin yang bersilangan di laut jiwa, atau tentang kita, para peragu yang kehilangan muara, tersesat di dunia sisa, jadi perlambang bagi pabrik benda-benda, dan tak bisa lagi selain menikmati derai tawa hampa, di sekujur tubuh penuh rajah luka…Kini Tak ada lagi secuil cinta, atau salam sapa. Kembalilah ke rantaumu berasal. Sebab Riau tak lagi mencintaimu, Tuan!

Pekanbaru, 25 jan 22

 

 

Pos terkait