JERITAN HATI ANAK BANGSAKU

Oleh : M Sangap Siregar, MA
Dosen Univ. Hang Tuah Pekanbaru Riau

Tulisan ini mengangkat tema derita penanggungan psikologis dan kemanusiaan para pekerja/buruh Indonesia di luar negeri. Suatu peristiwa atau tragedi nasional yang cukup memilukan apabila kita teropong dengan kaca mata kebesaran jiwa nasionalisme kebangsaan.

Bacaan Lainnya

Kita bangga menjual diri dan tenaga rakyat kita dengan menyebut pahlawan devisa. Padahal mereka diperlakukan sebagai budak belian yang dibayar dengan upah minimum berbanding gaji buruh internasional. Bukan hanya itu tapi bahkan kadang tiada jaminan keselamatan.

Keberanian mereka untuk bertarung menyabung nyawa, sanggup menjadi pendatang asing tanpa izin, berenang dilepas pantai, menjadi kuli bangunan, buruh estate (perkebunan), cleaning service, maupun PRT (pembantu rumah tangga) dll. Dalam kondisi dapat jaminan keselamatan ataupun tidak, mereka tidak peduli, yang penting lapangan pekerjaan yang layak dan seimbang bagi tenaga dan skill yang mereka miliki.

Mereka masih tetap bagai anak tiri yang masih merempat dan terlunta. Kondisi mereka masih tetap kais pagi makan pagi, ketika anak mau sekolah, dan tarap hidup mau ditingkatkan?!

Tekanan keadaan dalam negeri, inilah yang membuat mereka dalam kepompong keterbatasan untuk memenuhi hajat hidup yang layak bagi kemanusiaan masih jauh dari harapan impian kemerdekaan walau sudah 79 merdeka. Percikan keadilan sosial yang dirindukan alam kemerdekaan belum kesampaian.

Semua itu menjadi piranti penyebab mereka harus keluar dari kerangkeng situasional kehidupan sedemikian. Meminjam istilah Alm. Bang Adnan Buyung Nasution ketika diwawancarai radio Australia seksi Indonesia dulu “memang negeriku sudah merdeka, tapi bangsaku masih tetap terjajah hingga saat ini”.

Sebenarnya anak-anak Indonesia ini punya karakter dan etos kerja yang tinggi yang mengalahi etos kerja buruh bangsa-bangsa lain. Mereka amat luarbiasa, dari segi keberanian, daya tahan dan kesabaran. Mereka sanggup menaiki bangunan tinggi-tinggi hingga ratusan tingkat, yang kalau jatuh bagai buah semangka terhempas ke bumi. Mereka sanggup mengecat bangunan-bangunan tinggi projek-projek mega yang kadang terpaksa harus digantung pakai heli kopter. Mereka berani bertarung bagai generasi yang telah bosan hidup di negeri sendiri, tapi enggan mati di negeri orang karena jiwa dan mental patriotisme dan kecintaan pada ibu pertiwi. Mereka pergi mencari nafkah kehidupan yang lebih layak menjangkau kemudahan untuk kembali membangun kampung halaman.

Tetapi apakah sepatutnya kita terus menampik di air keruh, masih bangga menyebut bahwa kita mendapat suntikan devisa keuangan negara dari hasil jerih payah, tangis isak, duka nestafa anak-anak bangsa seperti ini!? Ini sesungguhnya sudah sangat ironis dihampir jelang satu abad Indonesia merdeka.

Memutus mata rantai penjajah

Sudah lebih 2/3 abad negara merdeka tapi nasib rakyat pada umumnya belum juga berubah. Pergulatan sekitar urusan perut belum tuntas, masih banyak yang kelaparan. Ketidakcukupan lapangan pekerjaan yang layak, masih hidup terlunta bagai di alam proletar marhaenis buruh kuli zaman kolonial. Hanya beda tipis. Kalau dulu mereka dikirim sebagai romusya (kerja paksa) kuli kontrak (jawa kontrak) ke Suriname Amerika sebagai pekerja bagi projek-projek kolonial. Tapi kini mereka pergi karena tekanan keadaan di dalam negeri yang belum mendapatkan lapangan pekerjaan yang lebih layak mendapat kemudahan bagi kesejahteraan keluarga. Walhal sebagai bangsa yang besar, yang sudah lama merdeka sepatutnya hal ini sudah harus dihentikan. Semestinya kita telah dapat membangun lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya bagi seluruh rakyat yang luar biasa produktif ini.

Belajar dari India

Tokoh legendaris India Mahatma Ghandi dengan politik Non kooperatifnya telah berhasil mengusir penjajah British dari negerinya dengan menggencarkan gerakan tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Tetapi malah kita hari ini bagai mengekalkan budaya dan sistem kolonial. Kita hanya seolah sekedar tukar baju saja, namun sistem dan cara plus minus. Belanda mengeruk kekayaan negeri selama 350 tahun diangkut membangun negeri kincir angin, menimbun laut untuk perluasan pemukiman. Hari ini bagaimana supaya penghasilan di daerah-daerah dikonsentrasikan ke pusat, potensi kekayaan alam dikeruk bila perlu pulau dijual sekalian dan anak-anak negeri dikirim sebagai TKI atau TKW ke luar negeri.

Padahal India hari ini jumlah penduduk mereka tidak kurang dari 500 juta jiwa, yakni dua kali lipat dari penduduk kita. Agama mereka mayoritas Hindu. Tetapi jangankan mengirim tenaga kerja wanita, bahkan tenaga kerja lelakipun hanya segelintir yang mereka kirim, yang profesional saja. So, apa yang mereka buat di dalam negerinya? Ini yang patut kita pelajari.

Sepatutnya study banding yang sering kita anggarkan itu, bukan hanya sekedar melancong ke nagara-negara maju yang tidak ada latar kesamaan, tetapi idealnya ke nagara-negara yang ada konotasi persamaan, baik latar history, alam dan iklim maupun budaya, agar kita dapat mengambil pelajaran dan ilmu perbandingan faktual bagaimana mereka membangun struktur kekuatan negaranya ke arah yang lebih maju.

Artinya untuk menjadi negeri tempat studi banding itu minimal ada keselarasan dengan kita sehingga kita bisa mengadopsi yang baik disana untuk diterapkan disini.

Yang paling radikal dari sikap kemerdekaan India tunjukkan mereka tidak mau mengirimkan para pekerjanya ke luar negeri, tetapi justru mengembangkan industri mereka sendiri. Mereka memuliakan warga negaranya. Mereka seakan ingin menutup lembaran sejarah silam, kalau penjajah Inggris dulu sering mengirimkan rakyat mereka sebagai kuli estate di maskapai Perkebunan Inggris di sebaran koloni-koloninya. Tetapi India merdeka hari ini tidak mau mengekalkan pengiriman-pengiriman itu bagi warga negaranya. Sebaliknya kita yang sudah hampir satu abad merdeka malah bangga menjual keringat anak bangsa sendiri dengan terus melanggengkan gelombang pengiriman itu. Walau sudah sering dihujat, dihina, dicemooh dan dicap oleh bangsa lain dengan berbagai kasus penderaan dan penganiayaan serta perlakuan tidak manusiawi terhadap anak-anak bangsa ini, namun masih tetap tak bergeming bagai mati rasa dan mati nurani. Dengan ucapan emang gue pikirin?!

Terlalu riskan, dilematis dan kompleks kiranya beban problematika bangsa dan negeri ini, sehingga kita terpaksa harus pilih bungkam menyikapi keadaan itu. Adakah kita hari ini berada dalam himpitan sistem? Atau betul-betul nyaman dalam memanfaatkan sistem?! Janganlah kita menjadi belanda hitam yang lebih kejam dari belanda putih. Bandingkanlah sikap India merdeka terhadap rakyatnya dan perlakuan kita dengan anak bangsa sendiri?! Betapa jauhnya persimpangan antara dua jalan pikiran itu.

Berkongsi pengalaman dengan Malaysia

Negara ini merdeka pada tahun 1957 lebih muda 12 tahun dari negara kita. Sesungguhnya Malaysia adalah adek kandung negara kita. Pada awalnya Malaysia banyak belajar berbagai hal dari Indonesia. Mulai dari pendidikan, strategi politik, pertahanan dan keamanan, bahkan ideologi perpaduan negara konsep “Bhinneka Tunggal Ika” mereka amat menjiwai konsep ini dengan menyadari kehetrogenan etnik yang ada dengan sebutan keadaan negara yang berbilang kaum.

Walau hanya ada tiga etnik yang ada yang menonjol, yaitu Melayu, Cina dan India. Sedang etnik melayu sendiri kalau kita telusuri adalah merupakan gabungan dari ras etnik nusantara yang mana hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia ada di Malaysia, berasimilasi langsung dengan suku melayu, sebab Malaysia sendiri memaknai semua suku yang mendiami kepulauan nusantara konotasi mereka adalah melayu. Maka tidak heran kalau di Malaysia kita akan lebih mengenal secara khusus suku-suku yang ada di Indonesia seperti : Jawa, Boyan, Madura, Lombik, Flores, Bugis, Banjar, Bengkulu, Pelembang, Kerinci, Jambi, Mandailing, Minang, Aceh dll. Ada daerah-daerah tertentu yang telah menjadi pemukiman khusus bagi tiap-tiap suku ini disana. Namun semua suku-suku itu telah secara otomatis dimelayukan menurut versi Malaysia.

Dan spesial etnik Melayu Riau dalam skala prioritas telah diberi penanda khusus sebagai yang lebih identik dengan negeri serumpun, khususnya kepulauan Riau dan umumnya Riau secara keseluruhan.

Apa yang menarik dari negara ini? Mereka telah mendahului kita dalam banyak hal, khususnya dari segi pencapaian tingkat kesejahteraan hidup, pemenuhan fasilitas umum yang telah menuju pencapaian tingkatan nilai dan kwalitas.

Kalau kita tanya apa rahasianya? Cukup sederhana yakni : “Kami mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh guru kami”. Siapa guru mereka? Guru mereka adalah Indonesia. Kita ingat peristiwa pertukaran atau pengiriman tenaga guru dan dosen di tahun 70 dan 80-an dari Indonesia ke Malaysia. Bahkan sesetengah pejabat senior Malaysia yang masih aktif menjabat hari ini rata-rata alumni Indonesia di tahun 70 dan 80-an.

Intinya mereka adalah bangsa yang jujur dengan ilmu atau memuliakan ilmu. Jalankan undang-undang, cinta pada negara alias mensyukuri nikmat anugrah kekayaan negara yang betul-betul dikelola dengan baik dan berkhemah untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Step pembangunan yang mereka jalankan berawal dari latar negara agraris, dimana pada saat pemerintahan Perdana Menteri kedua, mereka telah mengumandangkan slogan tidak ada satu jengkal bumi malaysia yang tidak produktif. Maka, gerakan penanaman karet dan sawit mereka serentakkan di seluruh negara. Dan pada akhirnya, dasar kekuatan potensi inilah yang telah dijadikan oleh Datuk Dr. Mahathir Muhammad (PM ke-empat) membawa Malaysia melangkah ke arah negara industri maju (dalam waktu dua dasa warsa terakhir) dengan strategi yang cukup sederhana yakni menciptakan suasana aman bagi investor asing untuk melabourkan modal dan usahanya di negara Malaysia dengan tumbuh subur dan berkembang dalam ikatan kerjasama yang telah disepakati.

Sehingga ledakan industri itu perlu menampung banyak tenaga kerja yang harus di drop dari negara luar termasuk Indonesia. Manakala warga mereka dalam masa yang lama bisa hidup senang surplus penghasilan dan bisa pilih-pilih kerja yang paling mudah dan enak dengan gaji yang tetap dilebihkan dari standard buruh atau pekerja asing walau dalam kategori jenis kerja yang sama.

Bangkitkan kembali jati diri bangsa

Indonesia sebagai negara kesatuan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 punya latar sejarah yang berbeda dan luar biasa. NKRI adalah rentetan kerajaan nasional yang ada di nusantara dalam urutan yang ketiga. Setelah Majapahit pada abad 13 dan 14 yang punya empayer luas lintas regional bahkan internasional karena wilayah jajahannya hingga ke Malagasi – Madagaskar Afrika Selatan. Sementara kerajaan Sriwijaya yang telah jauh mendahului sebelumnya yaitu abad ke-7 Masehi juga telah punya empayer yang jauh lebih luas dari wilayah nusantara yang sekarang ini.

Maka, berdasar pada lipatan perjalanan sejarah sesungguhnya bangsa ini punya potensi kebesaran, kebangkitan dan kebangunan. Asal kita kembali pada kepemilikan jati diri akar budaya bangsa. Dimana harus kita pahami antara butir-butir kekuatan itu adalah jiwa religius, susila, etika, moral akhlak, semangat kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, musyawarah untuk mufakat serta adil dan bertenggang rasa. Ini adalah akar budaya bangsa yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Yang selanjutnya diperas menjadi sila-sila dari Pancasila seperti yang ada sekarang.

Hari ini tidak ada yang salah pada dasar negara ini, tapi kitalah yang telah mulai melonggarkan tali ikatan batin terhadap pemaknaannya.

Sekarang kita harus kembali menghidupkan ruh perjuangan. Memperingati hari ulang tahun kemerdekaan bukan hanya memamerkan hasil pencapaian pembangunan fisik belaka. Melanjutkan estapet perjuangan bangsa menuju kejayaan dan kebesaran perlu sprit baru. Kita harus kembali menjiwai dan mewarisi semangat juang ’45 menggelorakan semangat patriotisme para pahlawan bangsa yang mulia. Bukan cara premanis hedonis menonjolkan kebaikan diri burukkan orang lain ambil bagian yang banyak dari negara. Kebesaran mengajarkan hidupkan budaya memberi bukan mengambil. Hukum keseimbangan memberi dulu baru menerima. Tunai kewajiban dulu baru baru terima hak. Tokoh legendaris Amerika Abraham Lincoln dalam ucapannya : “Jangan tanya apa yang telah diberikan negara padamu, tapi tanyalah apa yang telah kau sumbangkan pada negara”

Artinya kita jangan memikirkan apa yang mau kita ambil dari negara mumpung masih menjabat. Tapi coba pikirkan karya monumental apa yang harus kita buat? Sehingga pada periode berikutnya orang lain pula memikirkan karya agung berikutnya. Seperti yang pernah diillustrasikan dalam film Pahlawan Pelangi bahwa kebesaran kita ada pada budaya memberi, menyumbang dan melakukan yang terbaik. Semangat itu yang harus kita hidupkan kembali menghadapi kompetisi bangsa-bangsa dalam membangun peradaban kemanusiaan dan memaknai nilai kemerdekaan.
Wallohu ta’ala a’lam. ***

 

 

 

Pos terkait