Ketika krisis multidimensi mencapai puncak klimaksnya, berbahagialah semua suadara yang tetap gigih bertahan di kampung halaman, setidaknya untuk terus bertahan hidup, ketika stock pangan pun langka.
Segunung duit pun tak lagi berharga, sebab apapun yang hendak dibeli tak lagi ada yang hendak menjual. Jika pun ada sisanya, toh bisa dibilang tidak cukup untuk memenuhi keperluan sendiri.
Inilah situasi dan kondisi yang disebut oleh para spiritual itu kiamat kecil. Karena kiamat besar lebih dakhsyat lagi situasi dan kondisinya, hingga sulit untuk diceritakan dalam narasi sepanjang apapun.
Bila krisis multi dimensi itu tidak cuma etika, moral dan akhlak manusia hingga berada dibawah titik nol takaran manusia waras, mungkin juga energi listrik yang telah membuat ketergantungan banyak manusia dapat lebih meyakinkan bahwa proses kiamat itu tengah berjalan menuju titik terjauh yang semakin sulit dicerna oleh akal sehat sekalipun. Dan tentu akan lebih sulit lagi dipahami oleh akal yang sakit, karena jumawa atau terlanjur pada semua hal yang bersifat materi. Maka itu, duit pun yang sudah dijadikan Tuhan, saatnya mencair dan hanyut ke laut.
Dalam cara hidup yang bersahaja dan sederhana, di kampung masih relatif banyak pilihan untuk menjaga stamina dan semangat hidup dengan mengkonsumsi buah-buahan, umbi-umbian hingga umbut dan dedaunan serta hewan ternak maupun hewan liar seperti burung hingga kelinci dan menjangan yang bisa diburu seperti tradisi para leluhur di masa lampau.
Lain cerita bagi mereka yang terlanjur menjadi warga kota, dimana selalu tersedia bahan makan instan. Sehingga alternatif pilihan seperti yang pernah dianjurkan untuk membiasakan diri mengkonsumsi eceng gondok yang banyak bertebaran di danau buatan yang ada di perkotaan. Sedangkan di kampung, masih banyak alternatif pilihan bahan makanan yang bisa dikonsumsi dengan nikmat dan nyaman, mulai dari keladi liar yang bertumbuh di rawa-rawa hingga sayur rebung yang masih lumayan banyak tumbuh di belakang rumah.
Apalagi sejak awal krisis multi dimensi ini warga di kampung kita sudah siap menanam ubi kayu maupun ubi jalar yang dapat diolah dalam beragam macam panganan yang mampu membuat kenyang. Minimal dengan beragam jenis ikan yang bisa dikais dari sungai atau laut kita yang menantang dan terhampar luas itu, bisalah menjadi penjamin gizi di masa darurat yang gawat.
Krisis multi dimensi yang telah diisyaratkan oleh alam pun di negeri kita tidak cuma lewat cuaca ekstrem, panas yang sudah sering melampaui batas kebiasaan serta hujan yang sangat berlebihan maupun angin kencang yang menyergah seakan sedang marah.
Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota, terkesan semakin ketat perlombaannya. Sampai banyak cara yang tidak wajar dianggap patut untuk dilakukan. Siang pun tak lagi beda dengan malam. Lelaki maupun perempuan juga ikut gentayangan mengais nafkah. Dan mereka yang sudah berkecukupan, lebih edan-edanan lagi mengejar kekayaan. Seakan yang telah dimiliki belum cukup memadai untuk memenuhi hasrat syahwatnya yang liar dan buas.
Jika sungguh kiamat sedang dalam proses, mungkinkah momentum ini merupakan keistimewaan bagi generasi hari yang akan mengalami sekaligus merasakan kiamat yang akan terjadi, namun itu tak banyak dipercaya oleh orang.
Atau, kiamat itu sendiri sudah lebih dari cukup dengan ditandai oleh krisis multi dimensi seperti sekarang ini. Tak hanya berujud materi, tapi juga immateri seperti krisis akhlak, moral dan etika yang sering terbalik disebut-disebut dalam lafas sehari-hari. Karena awal mulanya dari etika, kemudian meningkat pada tatanan moral hingga berpuncak pada akhlak yang menandai manusia sebagai makhluk hidup yang seharusnya lebih mulia dari makhluk hidup yang lain.
Banten, 13 November 2022.
Diterbitkan Kompas 1 Net.