Kompas 1 Net | ITE adalah akronim dari Informasi dan Transaksi Elekronik, yang materinya diatur di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008, kemudian diubah ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008. Informasi Elektronik dalam UU ini adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sementara Transaksi Elektronik merupakan perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Sejak undang-undang ini diberlakukan tahun 2011, korban ITE terus berjatuhan. Dari Prita Mulyasari hingga Edi Mulyadi. Prita awalnya mengeluhkan pelayanan medis RS Omni Tangerang melalui e-email. Wanita berusia 32 tahun itu mengungkap perasaan hatinya yang ia alami selama dirawat di Rumah Sakit Omni. Tapi, kemudian Prita dijerat melalui UU ITE. Heboh. Korban-korban berikut terus berjatuhan satu persatu.
Teranyar Edi Mulyadi. Jurnalis vocal ini harus menghadapi gelombang aksi masyarakat Kalimantan, utamanya Suku Dayak, menyusul pernyataan Edi soal perpindahan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur. Sebelum Edi, platform media social juga dihebohkan oleh pernyataan-pernyataan keras dari Habib Bahar bin Smith dan cuitan Ferdinan Hutahean di tweeter. Next, korban-korban lain sepertinya juga akan terus bertumbangan. Karena masuk ke dalam perangkap Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik.
Apa yang bahaya dari UU ini? Yang bahaya adalah undang-undang ini mengatur perbuatan yang dilarang yang disebarluaskan melalui informasi elektronik. Mulai dari perbuatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan/dan atau pencemaran nama baik, pemerasan/dan atau pengancaman sampai kepada berita bohong dan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Rumusan atas pasal-pasal tersebut sangat luas dan dapat menjeret siapa saja. Sasaran utamanya adalah pengguna informasi elektronik. Atau penggiat media social.
Indonesia adalah satu dari empat negara di dunia yang terbanyak menggunakan media social. Bersama China, India dan Amerika Serikat, hampir 200 juta penduduk Republik ini berkomunikasi dengan media social. Jumlah ini akan terus meningkat dalam lima tahun mendatang.
Tak heran. Apabila UU ITE terus memakan korban. Seperti kita mencabut jenggot. Cabut satu tumbuh dua dan seterusnya. Korban akibat Informasi dan Transaksi Elektronik pun demikian. Ditangkap satu, dua, tiga orang maka korban-korban berikutnya pun muncul lagi. Serba dilematis.
Karena ada yang berpandangan, negara kita adalah negara demokratis. Hak berbicara dengan dijamin oleh Konstitusi. Tapi juga ada yang berpendapat bahwa, kebebasan berbicara tidak bersifat absolut. Harus dibarengi dengan social responsibility. Ada hak-hak orang lain yang juga musti dipertimbangkan saat berbicara. Ketika hak tersebut melabrak rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh undang-undang, maka siap-siaplah berhadapan dengan aparat penegak hukum. Ancaman hukumannya bisa lapis berlapis.
Kita pun teringat dengan sebuah peribahasa: ‘’mulutmu harimaumu’’. Dahulu peribahasa ini sering dianggap berkonotasi negatif. Itu karena setiap kata yang keluar dari mulut dapat saja menyakiti orang lain. Sebaliknya peribahasa tersebut bisa pula berkonotasi positif. Yakni hati-hati berbicara. Peribahasa itu seakan menjadi rem/penghambat dari sikap emosional seseorang yang tak terkendali saat sedang berbincara. Apatah lagi di depan camera/umum.
‘’Satu pintu bila tertutup, sepuluh pintu lagi kan terbuka’’. Erat kaitannya dengan ‘’mulutmu harimaumu’, maka lisan yang sudah menyebar luas akan sulit dihentikan. Dalam konteks inilah, agaknya kita perlu merenungi apa yang pernah diucapkan Imam Syafii. Katanya, ‘’Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun.
Jum’at 28 Januari 2022