JAKARTA, Kompas 1 Net– Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan hingga saat ini MPR RI belum menentukan pilihan bentuk hukum terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Walaupun demikian, dalam Rapat Pimpinan MPR RI tanggal 30 Agustus lalu sepakat akan mengusulkan jadwal Sidang Paripurna MPR RI tanggal 3 Oktober 2022 kepada Forum Rapat Gabungan MPR RI yang akan digelar pada akhir September 2022 mendatang dengan agenda tunggal pengambilan keputusan pembentukkan Panitia Ad Hoc.
Sesuai ketentuan Pasal 34 Tata Tertib MPR, pembentukan Panitia Ad Hoc MPR itu dilakukan dalam Sidang Paripurna MPR. Dan, Sidang Paripurna MPR dengan agenda tunggal pembentukan Panitia Ad Hoc MPR, akan diawali dengan penjelasan Pimpinan MPR dan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD, sesuai dengan ketentuan Pasal 87 Tata Tertib MPR yang mengatur mengenai tata cara pembentukan keputusan MPR.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menjelaskan bahwa Panitia Ad Hoc MPR yang akan diputuskan pembentukkannya itu bertugas menyiapkan rancangan Keputusan MPR RI tentang bentuk hukum dan rancangan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tanpa melalui mekanisme Amandemen UUD NRI 1945.
Sidang Paripurna tersebut akan menjadi Sidang Paripurna yang pertama kali diselenggarakan oleh MPR RI sejak Reformasi bergulir, di luar Sidang Paripurna rutin seperti pelantikan presiden/wakil presiden maupun Sidang Tahunan. Sidang Paripurna diselenggarakan sebagai tindak lanjut atas kesepakatan Rapat Gabungan pada 25 Juli 2022, dimana seluruh Fraksi dan Kelompok DPD telah menerima hasil kajian substansi dan bentuk hukum PPHN yang dilakukan Badan Pengkajian MPR RI.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, pembentukan Keputusan MPR dilakukan melalui tiga tingkat pembicaraan. Tingkat I, pembahasan oleh Sidang Paripurna yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR, dilanjutkan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD. Tingkat II, pembahasan oleh Panitia Ad Hoc terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I. Hasil pembahasan pada tingkat II ini merupakan Rancangan Keputusan MPR.
“Serta Tingkat III, pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna setelah mendengar laporan Pimpinan Panitia Ad Hoc, dan bilamana perlu dengan kata akhir dari Fraksi dan Kelompok DPD. Pembicaraan Tingkat III untuk mengambil keputusan tentang bentuk hukum dan rancangan PPHN bisa saja waktunya dilakukan setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden 14 Februari 2024, sehingga kondisi politik sudah jauh lebih tenang dan kondusif,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menegaskan, pilihan bentuk hukum PPHN apapun nantinya yang diambil, tergantung dinamika pembahasan di Panitia Ad Hoc, yang bertugas menyiapkan rancangan keputusan MPR RI mengenai bentuk hukum dan substansi PPHN,” ujar Bamsoet usai menghadiri Focus Group Discussion ‘Urgensi Pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara’, yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar MPR RI, di Komplek MPR RI, Jakarta, Kamis (8/9/22).
Turut hadir antara lain, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena, Sekretaris Fraksi Partai Golkar MPR RI Ferdiansyah, dan Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI Adies Kadir. Hadir pula dari Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, antara lain Wakil Ketua Rambe Kamarul Zaman, dan para anggota antara lain Rully Chairul Azwar dan Andi Mattalatta, pakar hukum tata negara Refly Harun serta Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari.
“Dalam laporan Badan Pengkajian MPR RI juga menjelaskan bahwa PPHN yang diatur melalui Ketetapan MPR memiliki kedudukan hukum yang kuat karena dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Ketetapan MPR berada di atas undang-undang. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah hukum, setiap peraturan perundang-undangan harus selalu berkesesuaian dengan Ketetapan MPR. Kelebihan lainnya adalah Ketetapan MPR tidak dapat dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi maupun digantikan oleh Perppu,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, pilihan bentuk hukum lainnya terhadap PPHN, menurut Badan Pengkajian MPR RI, yakni melalui undang-undang. Mengingat Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis. Dengan demikian, segenap peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama.
“Berbagai pilihan bentuk hukum tersebut, masing-masing terdapat kekurangan dan kelebihan. Pilihan bentuk hukum PPHN manapun akan diambil, apakah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, diatur melalui Ketetapan MPR atau diatur melalui Undang-Undang, atau melalui terobosan lain seperti konvensi ketatanegaraan yang dapat dilakukan tanpa amandemen, seluruhnya tergantung kesepakatan fraksi dan kelompok DPD yang nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk MPR RI, yang keanggotaannya memperhatikan proporsionalitas dari Fraksi dan Kelompok DPD,,” pungkas Bamsoet. (*)
Rls
Editor Zurfami