Tidak sepantasnya seorang yang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, ketika mendapati saudaranya seiman melakukan kesalahan, dia justru mengacuhkannya, menjatuhkannya, mencaci atau asyik menggunjingnya.
Sebaliknya, ia seharusnya menegur agar si pelaku menghentikan kemaksiatan yang diperbuatnya atau membatalkan apa yang menjadi niat buruknya.
Inilah yang diteladankan dan diajarkan oleh Rasulullah Shallalahu alaihi wa Sallam kepada umat Islam; gemar mengingatkan saudara seiman yang melakukan keburukan agar berhenti, bukan justru menggunjingnya.
Di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari,
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.” Kemudian ada seseorang bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim? Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.”
Sayangnya yang terjadi di masyarakat saat ini, justru sebaliknya; ketika mendapati saudaranya melakukan kemaksiatan, ia justru asyik menggunjingnya, bahkan terperosok kepada pengakuan diri bahwa ia lebih baik/sholeh ketimbang si pelaku dosa.
Jelas ini telah menyelisihi apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan mengarah kepada perilaku syaitan yang suka mengunggulkan dirinya atas makhluk lain (manusia).
sosok manusia Muslim atau umat islam sesungguhnya juga bisa dinilai sejauh mana kepeduliannya melihat saudaranya salah melangkah, dia kemudian mampu mengingatkan ketika melakukan kekeliruan.
Mari sahabat pembaca dan sekaliannya, hilangkan kebiasaan kita yang dirasa tidak menguntungkan bahkan bisa mendapatkan dosa. Yuk, jadilah pribadi yang baik dan saling memaafkan utama nya.
Ada sebuah riwayat dari Abu Hurairah yang dicatat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, tentang seseorang yang mencaci maki Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq.
Artinya: Yahya menceritakan kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan, Sa’id bin Abi Sa’id menceritakan kepada kami dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki mencela Abu Bakar, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk. Kejadian itu membuat Nabi terheran-heran dan tersenyum. Kemudian saat Abu Bakar banyak membantah sebagian perkataan (celaan) laki-laki tersebut, Nabi Muhammad marah dan berdiri untuk pergi. Abu Bakar pun menyusul Nabi, lalu berkata: Wahai Rasulullah, orang itu mencelaku, anda hanya duduk saja (tidak ikut membalas). Ketika aku membantah sebagian perkataannya, anda berdiri dan marah. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya ada malaikat bersamamu yang akan membantahnya untukmu. Ketika engkau membantah sebagian perkataannya, setan datang. Aku tidak ingin duduk bersama setan.
Kemudian Rasulullah SAW berkata: Wahai Abu Bakar, ada tiga hal yang menjadi hak seorang hamba: (1) Tidaklah seorang hamba Allah yang terzalimi dengan kezaliman, lalu dia pasrahkan kepada Allah kecuali Allah pasti memenangkannya dengan pertolonganNya, (2) Tidaklah seseorang yang membuka pintu pemberian yang dia harapkan menjadi penyambung persaudaraan, kecuali Allah pasti tambahkan pemberian yang banyak kepadanya, dan (3) Tidaklah seseorang yang membuka pintu permintaan yang dia harapkan untuk mendapatkan pemberian yang banyak, kecuali Allah pasti tambahkan kekurangan kepadanya. (Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, tt, juz 15, h. 39).
Penulis : Andre Hariyanto, adalah Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Wartawan Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Keluarga Pers Indonesia (DPP AKPI) dan Founder Taklim Jurnalistik