Banyak pejabat publik ingin tampil “jetset”; sarapan pagi di Perivolos Taverna-Santorini, siangnya berpose dengan tas Hermes di St. Vincent de Paul-Perancis, dan lanjut makan malam di El Porteno Ristorante-Milan. Laku yang sering dipamerkan tanpa rasa malu meski diluapkan dengan cara menggarong uang rakyat.
Setiap negara adalah bejana yang memiliki aturan, tapi aturan juga memberi celah untuk dilanggar dan pelanggaran adalah ruang untuk “berdamai”. Meja birokrasi seringkali menjadi angka demi angka dan setiap manusia yang duduk dibelakangnya adalah kewibawaan yang siap menjadikan aturan sebagai belati untuk merampok.
Negara dengan masyarakat yang belum memiliki kesiapan mental adalah paradoks yang hanya bawel dalam kata-kata. Mereka yang bersuara anti korupsi adalah yang belum mempunyai kesempatan untuk korupsi. Dan mereka yang punya kesempatan untuk korupsi tapi tidak mau melakukannya seringkali dialienasi.
Korupsi adalah ruang privat yang tidak terkoneksi dengan agama, organisasi atau partai-partai politik. Seorang koruptor bisa berlatar belakang apa saja – ini soal pengkhianatan terhadap nurani. Pada tataran moral, seorang koruptor sejatinya jauh lebih rendah dari pencopet karena harus punya jabatan publik untuk melakukan kejahatannya. Hidupnya lebih mengenaskan dari pengemis karena koruptor selalu menormalisasi kejahatan dalam kesehariannya.
Miskinkan koruptor, rampas asetnya! Jangan biarkan korupsi di satu ruang dinas melahirkan korupsi berikutnya di peradilan dan penjara.
Sumber. : https://twitter.com/islah_bahrawi/status/1662290087827349505?t=f-Zl1LctDXeP2YTTMhfkUw&s=19