Kompas 1 Net-Cacing-Cacing merayap merapat. Dalam guil gesekan tanah walau lambat. Mereka berbaris rapi menunggu sang idola yang telah lama bergema; Pemuda Ikram yang tak jumawa. Ikram terlahir sebagai seorang anak jati, Tanah Jantan Kabupaten Meranti.
Ikram Maulana sebenarnya kurang bernasib baik. Setelah lulus STM dia tak sempat menyambung kuliah. Ayahnya kata orang-orang seorang pemalas. Hari hari hanya mencari buku-buku, mangkal dilapak majalah bekas dan duduk malam-malam ditepi jeti.
Mungkin tu jua yang membuat jalan takdir Ikram menjadi berbeda. Tersebab hoby “gila” ayahnya mewabah ke dirinya.
Ikram pemuda berkulit hitam manis itu berkenalan dengan tokoh-tokoh pengguncang dunia terlalu muda, ketika rekan sebayanya masih hoby main sepeda.
“Tidak bisa dibiarkan, ” terdengar lengkingan Ikram dalam rapat Masyarakat Desa Balam Sentoja malam itu. “Lalu mau kalian aku, kita dan semua warga kampung ini apakan si bedabah kapitalis itu. Hancur musnah harapan anak cucu kita di rimba berpuaka itu, ” suara ikram makin bergetar.
Tiba tiba saja Ikram yang dikenal kutu buku dan juga banyak kutu itu melemahkan nada suara layaknya Leobardo Davincy yang terlepas dari tangan kekasih dalam film “Titanic”.
“Ku gengam jemarimu penuh ikrar setia, selat Riau dipukau galau, sebagai jembalang yang kau kau kirim dari dayung gelombang yang patah oleh angin kenangan, ” kata kata Ikram membuat kesunyiaan malam makin pekat.
Mugkin rintihan inilah yang menjalar di semak belukar menyusuri anak sungai Rokan di temani teluk kesepian ditinggal bebintang,” sambung Ikram yang membuat Warga Desa nanar.
“Akupun meningkahi kompang waktu, saat upacara kekalahan-kekalahan kita pada si bedebah kita gelar diatas tikar rindu yang membakar. Bertalu-talu pilu, tapi tak jua palu dendam menghantam qalbu,” makin hening senyap dan sesekali jangkrik ikut memainkan sunyi.
Riau ini, ujar Ikram, hanya setetes air mata, yang terjatuh sebelum waktunya. Diatas bantal mimpi, anak anak cucu negeri bercanda: Dongengkanlah tentang Zhamrud Khatulistiwa atau sentra gambut dunia. Agar anak anak itu kelak bisa membaca kegaiban denting jam 12 malam, berkejaran dengan hujan asam, atau gelegar petir yang mencemaskan sampai pucat Selat Malaka terbujur menggigil sendirian, ” Ikram makin “kesurupan” diksi sastra.
Sudahlah sobat. Panggillah ruh Tan Malaka atau Che Guavara, kita enyahkan sang Kapitalis yang suka memaksa cinta pada buana raya.
Merebut Diksi Juang
Tersebab diksi juang yang di gelombangkan Ikram, berkali-kali mahasiswa berjaket gagah singgah ke desanya. Mereka mendengar ikram begitu memukau, mengorganisir rakyat untuk mengusir narasi cukong penggerus hutan. Hewan hewan dengan bahasa yang “lain” semakin populer nama ikram, sang Hang Jebat Ekologis pembela Semut, ulat bulu, langau, tungau (ini hati hati ya…😭😊), lipan, beruk dan cacing.
Hewan -hewan melata itu sudah ingin sekali sekedar melompat di pangkuan Ikram, pemuda idola flora fauna dan serangga. Apalagi ikram memilih diksi juang alam kadang menyebut nama mereka. Tersanjunglah segala rimba.
Dan tiba lah gelegar berita duka. Ikram yang dinanti pelosok negeri menghilang tak tentu rimba. Dan disebelah dinding kota, terdengar derai tawa seperti pesta kemenangan kaum berpunya.
Ikram mungkin telah pergi. Ketika deru mesin teknologi yang makin leluasa menginjak harkat martabat negeri Riau yang tak lagi bernyali.
Siapakah lagi yang sudi, menyambung tali diksi penuh juang yang Ikram taburi. Kau tanyakan lah pada rembulan dan bebintang hati yang selalu kerlipnya ditunggu bumi. Adakah Hang Jebat lain yang tulus sampai lenyap eksistensi. Luruh diri dalam spirit panji revolusi hati? Catatlah sejarah rahmatan lil’alamin penjaga segala penghuni tanah dan bumi! Dan cacing pun berhimpun merindu-moe. Mencari-moe pagi petang siang malam sampai terlelap dalam tidurku yang mengabadi.****
Pekanbaru : Kamis 27 Januari 2022