Dalil Nepotisme Pasangan Ganjar-Mahfud Dinilai Salah “Kamar”

Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra memimpin jalannya sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Kamis (28/03) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

JAKARTA, Kompas 1 Net-– Dalil nepotisme yang disampaikan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 03 Ganjar Pranowo dan Moh. Mahfud MD (Pasangan Ganjar-Mahfud) salah “kamar”. Karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pemeriksaan dugaan nepotisme merupakan ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK).

Bacaan Lainnya

Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Hifdzil Alim yang merupakan kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) menanggapi Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Pasangan Ganjar-Mahfud. Hifdzil hadir dalam sidang lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 (PHPU Presiden) yang digelar pada Kamis (28/3/2024) siang. Sidang yang beragenda mendengarkan keterangan Termohon, Pihak Terkait dan Bawaslu ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.

Dikatakan Hifdzil Alim, Termohon menolak setiap dalil atau pernyataan yang disampaikan oleh pemohon kecuali yang secara jelas dan tegas serta tertulis yang diakui oleh termohon. Terkait dengan Pemohon yang mendalilkan nepotisme yang ditujukan pemohon kepada pihak terkait dalam hal ini termohon tidak memiliki kewenangan untuk menanggapinya.

“Telah ada ketentuan hukum yang dijadikan acuan dan dasar untuk memeriksa memutus dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif sekurang-kurangnya terdapat tiga peraturan perundangan-undangan yang terkait atau dapat dikaitkan dalam memeriksa dugaan nepotisme yang mengarah pada pelanggaran administratif, yaitu UU Pemilu, UU tentang penyelenggaraan yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan Peraturan Bawaslu Nomor 8/2022 tentang Penyelesaian Administratif Pemilihan Umum,” urai Hifdzil.

Selain itu, menurut Hifdzil, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu, lembaga yang diperintahkan untuk memeriksa dugaan dua jenis pelanggaran administratif yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) adalah Bawaslu.

“Dengan demikian, jika terdapat dugaan pelanggaran administratif yang TSM dalam pemilu maka Bawaslu-lah yang diberikan kewenangan untuk memeriksa. Bawaslu tetap dapat memeriksa dugaan abuse of power yang terkoordinasi seperti dalil pemohon itu,” tegas Hifdzil.

Dengan demikian, lanjut Hifdzil, dalil Pemohon yang menyatakan adanya kekosongan hukum sehingga MK harus memeriksa dugaan nepotisme dalam pemilu menjadi runtuh. Sebab, UU Pemilu dan Peraturan Bawaslu No. 8/2022 telah cukup menjadi dasar hukum yang berlaku sebagai dasar memeriksa nepotisme dalam penyelenggaraan pemilu.

Bersifat Asumtif

Pada kesempatan yang sama, Pihak Terkait yang diwakili oleh Yuri Kemal Fadhlullah menegaskan Pihak Terkait menolak seluruh dalil-dalil yang disampaikan oleh Pemohon. Pada prinsipnya dalil permohonan dalam pokok perkara semata-mata bersifat asumtif. Tidak disertai alat bukti yang sah dan tidak pula dapat terukur secara pasti. Bahkan cenderung tidak sama sekali membuktikan hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana dan sebesar apa dampaknya terhadap perolehan.

Selain itu, Yuri juga menyebut MK sebagai lembaga peradilan yang independen dan imparsial tentu harus membatasi diri dalam hal mengadili perkara-perkara yang bersifat politis atau dalam konteks PHPU ini agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Namun mengingat fenomena judicialization of politics merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari saat ini oleh MK. Maka, lanjutnya, menjadi suatu hal penting dan utama bagi MK untuk mengedepankan prinsip pembatasan diri dalam perkara PHPU nantinya agar MK tidak menjadi objek politisasi.

“Selanjutnya, untuk menghindari pengulangan dapat kita sampaikan bahwa hal-hal yang disampaikan pada bagian pendahuluan dan eksepsi secara mutatis mutandis dapat merupakan bagian yang tidak terpisahkan,” tambah Yuri.

Persandingan Perolehan Suara

Lebih lanjut Yuri menjelaskan, Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak membuktikan dasar-dasar perhitungan yang didalilkan. Alih-alih Pemohon malah mendalilkan hal-hal yang bersifat kualitatif mengenai dugaan berbagai kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa pihak yang tersajikan dalam bentuk narasi. Sementara narasi-narasi itu bukanlah merupakan alat bukti dalam hukum acara MK.

Menurut Yuri, Pemohon wajib menguraikan secara jelas, spesifik dan gamblang baik siapa melakukan, apa yang dilakukan dan dimana dilakukannya. Terlebih, dalil-dalil pemohon tersebut tidaklah sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh MK.

Dikatakan Yuri, Pemohon mendalilkan kesalahan penghitungan yang menimbulkan selisih suara terjadi karena adanya pelanggaran yang bersifat TSM dan pelanggaran prosedur pemilihan umum. “Namun, Pemohon gagal dalam membuktikan baik secara kuantitatif dan juga bagaimana narasi-narasi utopis yang dibentuknya terkait dengan tatanan ideal konsepsi dan pengaturan sistem pemilu dapat secara merta dan cuma-cuma menganulir 96.214.691 suara pemilih Pihak Terkait yang melalui serangkaian proses pemilu yang sudah dinyatakan suara sah,” paparnya.

Sejatinya dalam membuktikan dalil argumentasi kuantitatif mengenai angka-angka perolehan dalam hal perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, Pemohon wajib membuktikan secara data, apakah terjadi kecurangan, penggelembungan atau pengurangan suara dari pemohon itu sendiri. Namun demikian, dalil argumentasi yang diajukan pemohon yang justru setuju terhadap perolehan suara pemohon sendiri berdasarkan rekapitulasi final Termohon membuktikan bahwa sesungguhnya pemohon tidak mampu untuk membuktikan adanya kesalahan hitung.

Tidak Penuhi Syarat Materiil

Pada kesempatan yang sama, Bawaslu yang diwakili oleh Anggota Bawaslu, Puadi, menyampaikan terhadap dalil pemohon berkenaan pokok permohonan mengenai manipulasi DPT, Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu yang pada pokoknya memberitahukan status laporan 112 tidak dapat diregister dengan alasan tidak memenuhi syarat materil.

Terkait dengan siaran pers Bawaslu, Puadi menyebut terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan pemungutan suara pada pukul 07.00 waktu setempat di 37.466 TPS, menurut hasil pengawasan Bawaslu terhadap peristiwa tersebut jajaran pengawas pemilu di masing-masing tingkatan telah menyampaikan saran kepada PPS agar pemungutan suara dimulai sesuai waktu yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yaitu pukul 07.00 WIB.

Sebagai informasi, Pasangan Ganjar-Mahfud mendalilkan telah terjadi kekosongan hukum dalam UU Pemilu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat dari nepotisme yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi. Pelanggaran ini menjadi pelanggaran utama yang terjadi dalam Pilpres 2024.

Tindak nepotisme dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam mendorong Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon Wakil Presiden Nomor Urut 2. Hal ini, sambung Annisa, melahirkan berbagai bentuk abuse of power di seluruh jenjang kekuasaan dan pemerintahan. Fakta ini tampak pada keberadaan UU Pemilu tidak memiliki mekanisme untuk menangani wujud pelanggaran TSM yang diatur, sehingga kekosongan hukum yang ada pada UU Pemilu terlihat jelas.

Berikutnya, Pemohon juga menilai instrumen penegak hukum pemilu yang saat ini tidak efektif yang tampak pada tidak adanya independensi dari Termohon dalam melakukan Pilpres 2024, DKPP melindungi Termohon dengan cara tidak mengindahkan putusannya sendiri, dan Bawaslu tidak efektif dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilaporkan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024. Mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 13 November 2023 dan Keputusan Komisi Pemiihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 14 November 2023.(*)

 

Penulis: Utami Argawati

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas: Fauzan Febriyan

 

Pos terkait