Awie, pemuda Rempang yang juga dipanggil Bang Long bernama asli Iswandi. Dia hendak mewarisi Jebat, Hang Jebat yang membelokkan kesetiaan tanpa reserve, rakyat melayu pada Sultan Malaka. Jalur psiko-sosial Bangsa Melayu digesernya ke kiri; raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah”.
Pendahulu pendahulu Awie, adalah dubalang dan laksamana Kerajaan Riau Lingga yang pilih tanding. Takkan pulang sebelum lanun lanun di laut tebelengkang dan pencoroboh di daratan lari tunggang langgang. dalam darah Awie, mengalir DNA petarung para leluluhur. Apalagi kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kawahcandradimuka pembentukan karakter skeptis-progressif, pas dikala Era Reformasi sedang menyala di tahun 2000.
Didikan Muhammadiyah dan juga HMI, memperlihatkan dua sisi mata uang kepribadian Awie. Berani tampil meng-arus jeramkan massa aksi demonstrasi, juga argumentasi yang kuat.
Harusnya investor -bila jujur- langsung balik kanan ketika dalam wawancara Awie dengan lantang bak Guru Besar Agrobisnis yang mencecar sidang megister :
“Kalau kami pindah ke Rumah Susun, apa bisa kami me-laut. Disini ladang dan sawah kami, disini tanah kuburan dan budaya kami, duluan mana kami sama mereka? ucap Awie dengan gestuur perlawanan.
Melihat perawakan Awie yang unik, rambut panjang terurai bak Gadjah Mada, badan tinggi berotot Bak Dwyne Jhonson “The Rock”, diselingi rantai bermata antik, klop sudah Awie sebagai pendekar melayu pantang dicabar.
Ia merindukan kebebasan kreatif kampung bersama kicauan burung dan hempasan ombak perahu nelayan.
Awie dan puluhan pejuang Rempang lainnya seolah memberi isyarat pada dunia dan indonesia. Menjaga marwah dan kesentosaan penduduk kampung adalah cita dan kemuliaan, walau nyawa dan tirai besi jadi taruhan. Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai.
Tidak banyak manusia yang sudi menempuh jalan sunyi seorang Awie, jalan pembebasan kemanusiaan. Jalan kepahlawan. Tapi Awie dan kawan kawannya telah berjanji kepada Jebat. Turun ke Laman Istana. Raungan Taming Sari (keris bikinan Empu Gandring Majapahit) menghalau dan membinasakan para pengkhianat, dubalang penjilat dan laksmana Malaka yang menodai kesucian rakyat.
Keteguhan dan naluri partriotik yang diperlihatkan Awie, telah membangunkan solidaritas pelosok negeri. Beruntun dukungan mengalir, lintas pulau, lintas etnik, umat meminta zaman memanggil.
Seluruh mata dan aplikasi media sosial, instagram, tik tok, menanti setiap pagi perkembangan Rempang. Menunggu apalagi trik apologetik Cukong berhati gersang yang suka mengangkang.
Tak terhitung sudah berapa ember Air Mata Anak Bangsa Tumpah. Menyaksikan anak negeri terlunta dan lari terbirit diserbu gas air mata dan selaksa resah.
Demi investor dan keping keping rupiah. Walau rakyat harus pindah. Tanpa gugatan atau putusan pengadilan incratch. Janji mereka masa depan indonesia akan bertambah cerah. Mengalahlah Mak Cik Peah dan Akak Joyah… Aaah parah ni parah.
Dalam situasi krisis yang gawat di Rempang, demikian itulah Awie tampil tegar nan menantang.
Awie tetap berdiri di tengah arung jeram kapitalisme yang hendak menghantam mastautin rakyat yang dipaksa diam.
Tapi rakyat Rempang sampai hari ini tetap bertarak dan menantang penguasa yang hendak mencalar marwah negeri. Dibalik pengap jeruji besi, Awie dan “awie awie” Rempang teguh menagih kesetiaan para patriot Melayu. Ibarat Jebat yang rela ditikam Hang Tuah demi sebuah konsistensi pada marwah. Awie berikar kepada negeri Rempang yang dipaksa hengkang. Kepada Tanah Kampung Tua itu diucapkan dengan lantang..
Kami Melayu, lebih baik mati berdiri, dari pada Hidup Berlutut”
****