Example floating
Example floating
Berita

Angka Perkawinan Anak dan Dewasa di Indonesia: Perubahan Sosial dan Kesadaran Kolektif

155
×

Angka Perkawinan Anak dan Dewasa di Indonesia: Perubahan Sosial dan Kesadaran Kolektif

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 Ilustrasi. Kampanye pencegahan pernikahan dini oleh kaum ibu di Jakarta. Turunnya angka pernikahan dini disebabkan oleh kesadaran kolektif yang tumbuh karena adanya kepedulian sosial dan kondisi yang kini berubah. ANTARA FOTO/ Muhammad Ayudha

Kompas 1 net – Program BRUS digelar secara masif di sekolah-sekolah dan madrasah, melibatkan berbagai pihak mulai dari penyuluh agama, petugas Kantor Urusan Agama (KUA), hingga organisasi mitra yang bergerak dalam isu ketahanan keluarga dan perlindungan anak.

Dalam tiga tahun terakhir, angka perkawinan anak di Indonesia menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), pada 2022 tercatat 8.804 pasangan di bawah usia 19 tahun menikah. Angka ini turun menjadi 5.489 pasangan pada 2023, dan kembali menurun menjadi 4.150 pasangan di tahun 2024.

Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, penurunan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari berbagai upaya pencegahan yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah, khususnya melalui program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS).

“Melalui BRUS, kami memberikan pemahaman kepada remaja tentang pentingnya kesiapan mental, emosional, dan sosial sebelum memasuki usia pernikahan,” ujar Abu Rokhmad saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/7/2025).

Program BRUS digelar secara masif di sekolah-sekolah dan madrasah, melibatkan berbagai pihak mulai dari penyuluh agama, petugas Kantor Urusan Agama (KUA), hingga organisasi mitra yang bergerak dalam isu ketahanan keluarga dan perlindungan anak.

Dampak Sosial dan Budaya 

Kementerian Agama mencatat bahwa kesadaran masyarakat terhadap bahaya perkawinan usia dini terus meningkat. Selain risiko perceraian dini, perkawinan anak juga berpotensi menimbulkan persoalan kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga stunting pada anak.

“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Ini tugas kolektif antara sekolah, orang tua, tokoh agama, dan masyarakat. Ketahanan keluarga harus dibangun sejak dari hulu, dari pemahaman remaja kita,” tegas Abu Rokhmad.

Tak hanya perkawinan anak, fenomena menurunnya angka pernikahan secara umum juga menjadi sorotan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan di Indonesia pada 2023 tercatat sebanyak 1.577.255, turun sekitar 128.000 pasangan dari tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu satu dekade, angka pernikahan nasional bahkan menurun drastis hingga 28,63 persen.

Mengapa Semakin Banyak Orang Menunda menikah?

Penurunan ini mengundang perhatian para ahli. Prof. Dr. Bagong Suyanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), menyebut perubahan struktur sosial dan ekonomi sebagai penyebab utama.

“Perempuan kini memiliki peluang lebih luas dalam pendidikan dan pekerjaan. Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada laki-laki, dan lebih selektif dalam memilih pasangan,” jelas Prof. Bagong.

Di sisi lain, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak juga memengaruhi kesiapan laki-laki untuk menikah. Ketimpangan ekonomi menjadi faktor penting yang menghambat niat membangun rumah tangga.

Tak hanya itu, meningkatnya kasus KDRT, perselingkuhan, hingga perceraian turut memperburuk persepsi tentang pernikahan. BPS Jawa Timur mencatat peningkatan tajam dalam kasus talak dan cerai: dari 61.870 kasus (2020) menjadi 102.065 kasus (2022).

Fenomena Sosial yang Kompleks 

Sosiolog menyebutkan bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya negatif. Penurunan angka pernikahan justru dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kualitas hidup, terutama di kalangan perempuan.

“Ini bukan sekadar soal tidak ingin menikah, tetapi lebih kepada kesiapan yang matang. Ketika seseorang menikah dalam kondisi belum siap secara mental dan ekonomi, justru akan menimbulkan masalah baru,” tambah Prof. Bagong.

Kesadaran akan pentingnya pernikahan yang berkualitas menjadi angin segar dalam membangun generasi masa depan yang lebih sehat dan berdaya. Pemerintah pun kini lebih menekankan pada pendidikan pranikah, pemberdayaan perempuan, serta penguatan ketahanan keluarga sebagai strategi jangka panjang.

Fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia mencerminkan perubahan pola pikir masyarakat terhadap institusi keluarga. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi peluang untuk membentuk keluarga yang lebih kokoh secara psikologis, ekonomi, dan spiritual.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Pemerintah dan masyarakat dituntut untuk terus membangun ekosistem yang mendukung kesiapan generasi muda, bukan hanya dalam menikah, tapi juga dalam menjalani kehidupan berkeluarga yang sehat, setara, dan sejahtera.

 

sumber Indonesia.go.id

Example 300250
Example 120x600