Ahli Ganjar-Mahfud Sebut MK Bisa Periksa Pelanggaran TSM Hingga Tegaskan Pelanggaran Etika Berat Pencalonan Gibran

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura selaku ahli pemohon memberikan keterangan pada sidang lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Selasa (02/04) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

JAKARTA, Kompas 1 Net– Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah memeriksa dalil adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penanganan perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dalam Pemilu Tahun 2014 dan Pemilu Tahun 2019. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura dalam sidang lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 (PHPU Presiden). Sidang kedua Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 digelar pada Selasa (2/4/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.

Bacaan Lainnya

Sebagai Ahli yang dihadirkan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 03 Ganjar Pranowo dan Moh. Mahfud MD (Paslon 03 Ganjar-Mahfud), Charles menyebut dalil pelanggaran TSM memang sudah dirumuskan dalam politik hukum Indonesia, seperti dalam UU Pilkada maupun UU Pemilu. Ia menyebut aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu rentan menjadi pihak yang potensial dalam pelanggaran TSM.

“Politik hukum kita selalu mengarahkan ke situ itu. Faktanya dalam setiap pemilu kita, yang melakukan pelanggaran terstruktur itu ya dua pihak itu. Ya kalau tidak penyelenggara pemilu, ya aparat pemerintah,” urai Charles di hadapan Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo yang didampingi tujuh hakim lainnya.

Charles menambahkan pada Pemilu 2014 silam, ketika pasangan capres-cawapres yang berkompetisi, yakni Prabowo Subianto dengan Joko Widodo, dalil pelanggaran TSM diarahkan kepada penyelenggara Pemilu. Dalil kala itu tidak mengarah ke pemerintah utamanya kepada Presiden SBY karena petahana tidak mencalonkan diri. Karena itu, lanjut Charles, Prabowo yang kala itu mengajukan PHPU Presiden mendalilkan pelanggaran TSM pada penyelenggara pemilu.

“Untuk bisa diperiksanya pelanggaran TSM, Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga pembanding Keputusan Bawaslu/DKPP, bukanlah pembanding atau kasasi, tapi bagaimana memeriksa fakta-fakta dalam persidangan,” terang Charles.

Kemudian Charles menekankan MK memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menyelamatkan demokrasi konstitusional Indonesia. Di dalam konteks Pemilu 2024, khusus untuk dimensi kecurangan dan pelanggaran pemilu yang dibawa Pemohon ke MK, menjadi suatu keniscayaan untuk diperiksa dan diuji secara faktual dengan kualitas pembuktian yang mendalam oleh MK.

Pembuktian untuk kecurangan pemilu menjadi sangat penting dalam memastikan apakah hasil pemilu yang sudah didapatkan oleh para peserta pemilu, khususnya untuk calon presiden dan wakil presiden bersumber dari sebuah kompetisi pemilu yang fair, sesuai dengan aturan main, dan berjalan di atas proses pengawasan dan penegakan hukum profesional, jujur, dan adil. Dalam hal terdapat dalil tentang kecurangan di dalam tahapan pelaksanaan pemilu yang dimohonkan kepada MK, apalagi praktik kecurangan itu sama sekali belum diperiksa dan diputus Bawaslu, termasuk juga sudah diperiksa dan diputus Bawaslu.

“Artinya penting bagi MK untuk memastikan proses penanganan di Bawaslu sudah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur, dan adil,” kata Charles.

Charles menjelaskan, wewenang MK memeriksa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di luar yang diatur dalam UU Pemilu pernah diputus MK dalam PHPU Kepala Daerah yang mencakup beberapa bentuk, antara lain manipulasi syarat administrasi pencalonan, politik uang (money politics), politisasi birokrasi, kelalaian petugas (penyelenggara pemilu), memanipulasi suara, ancaman/intimidasi, serta netralitas penyelenggara pemilu. Sementara dalam PHPU Presiden, meskipun tidak terbukti, MK pernah memeriksa pelanggaran TSM pada Putusan MK Nomor 01/PHPU-Pres/XVII/2019, yaitu ketidaknetralan aparatur negara (polisi dan intelijen), diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program pemerintah, penyalahgunaan anggaran BUMN, pembatasan kebebasan media dan pers, Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak masuk akal, kekacauan Situng (Sistem Informasi Penghitungan) KPU dalam kaitannya dengan DPT, serta Dokumen C7 secara sengaja dihilangkan di berbagai daerah.

Kontroversi Sirekap

Selanjutnya, Ahli Rekayasa Perangkat Lunak dan Manajemen Universitas Pasundan Leony Lidya melakukan diagnosis terhadap Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) berdasarkan sudut pandang perekayasa sistem sekaligus pengalaman menjadi programmer. Dia menyimpulkan, kontroversi yang terjadi pada Sirekap adalah by design, mulai dari tahapan mengunggah C1 di TPS (tempat pemungutan suara) sampai KPU mengeklaim tidak lagi memakai Sirekap.

“Ketika KPU mengabaikan Sirekap dengan berdalih bahwa Sirekap tidak dipakai rekapitulasi berjenjang saya sudah melihat Sirekap sebagai saksi bisu kejahatan Pemilu 2024,” ucap Leony.

Dia merekomendasikan untuk membuktikan kejahatan pemilu tersebut dan dampaknya terhadap hasil pemilu, maka diperlukan audit forensik terhadap Sirekap dan data hasil Pemilu 2024. Untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas hasil rekapitulasi Pemilu 2024 oleh KPU, maka akses informasi terhadap Sirekap harus dibuka serta unggah C1 Hasil dan D Hasil yang otentik harus dituntaskan hingga 100 persen.

Dalam sesi pertama sidang dari pukul 08.00 sampai 12.57 WIB tersebut, hadir pula Profesor Filsafat STF Driyarkara Franz Von Magniz Suseno menjadi Ahli yang diajukan Paslon 03 menjelaskan mengenai etika. Menurut dia, presiden tidak cukup asal tidak melanggar hukum, melainkan presiden dituntut lebih untuk menunjukkan kesadaran bahwa tanggung jawabnya adalah menjamin keselamatan seluruh bangsa dan tidak menguntungkan keluarga, kerabat, atau kawannya karena presiden milik semua rakyat.

“Kegawatan pelanggaran etika, bahwa masyarakat akan mentaati pemerintah dengan senang apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku adil dan bijaksana, tidak dasar atas hukum dan kepentingan seluruh masyarakat untuk menguntungkan kelompoknya,” ujar Franz yang akrab disapa Romo Magnis tersebut.

Franz juga menyebutkan pelanggaran-pelanggaran etika yang terjadi pada Pemilu 2024, antara lain pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, keberpihakan presiden, nepotisme, pembagian bantuan sosial (bansos), serta manipulasi-manipulasi proses pemilu. Menurut Romo, pencalonan Gibran diwarnai pelanggaran etika berat. Atas Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait persyaratan usia minimal calon wakil presiden, Ketua MK Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etika berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sehingga dijatuhi sanksi berupa pemberhentian sebagai ketua MK. Lalu berlanjut pada Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang dinyatakan melakukan pelanggaran etika oleh DKPP sehingga dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir karena pendaftaran Gibran sebagai cawapres diterima sebelum merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 pascaputusan MK.

Belum Penuhi Syarat

Hal serupa juga diungkapkan I Gusti Putu Artha, ahli yang dihadirkan Ganjar-Mahfud yang pernah menjadi anggota KPU periode 2007-2012, I Gusti mengatakan, terjadi pelanggaran tahapan pencalonan pemilihan presiden (pilpres). PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang mengatur pencalonan peserta pemilu presiden dan wakil presiden belum direvisi setelah adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Menurut dia, hal ini telah melanggar Pasal 231 ayat (4) UU Pemilu. Sebab, apabila PKPU 19/2023 belum diubah, seharusnya Gibran dinyatakan belum memenuhi syarat usia minimal cawapres.

“Selain melanggar Pasal 231 ayat (4) Undang-Undang Pemilu, penerbitan Keputusan KPU juga melanggar PKPU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Pasal 30 ayat (2) yang menjelaskan bahwa dalam pengajuan Rancangan Keputusan, Biro Penyusun melakukan penyelarasan terhadap Peraturan KPU, faktanya materi Keputusan KPU Nomor 1378 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilih Umum Tahun 2024 tidak selaras dengan Peraturan KPU,” jelas Putu Artha.

Keberadaan Putu Artha sebagai Ahli Paslon 03 Ganjar-Mahfud sempat diprotes oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Hal tersebut karena Putu Artha pernah menjadi saksi Partai Nasdem saat penghitungan suara tingkat nasional di KPU RI. Terkait klaim KPU tersebut, Putu Artha mengeluarkan tanda bukti dokumen pengunduran diri dari Partai Nasdem. “Ini dokumen tanda terima pengunduran diri dari tanggal 20 dan ini tanda terima surat (dari Partai Nasdem),” ujarnya.

Penyalahgunaan Bansos

Di samping itu, Ekonom Senior Didin S. Damanhuri mengatakan, alokasi bansos pada 2024 mengalami pelonjakan dari tahun-tahun sebelumnya. Pemberian bansos tunai maupun beras menjelang Pemilu 2024 adalah bentuk kampanye terselubung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memenangkan anaknya yang sedang berkontestasi. Presiden Jokowi memanfaatkan fasilitas negara di tengah ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pascapandemi Covid-19.

“Bansos tunai dan beras yang seharusnya merupakan hak orang miskin, dikelaim sebagai bantuan dari Jokowi, dalam rangka pemenangan Paslon 02,” kata Didin.

Penggelontoran bansos menjelang pencoblosan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam bentuk BLT Mitigasi Risiko Pangan yang belum masuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) Tahun 2024 merupakan tindakan sepihak Presiden Jokowi tanpa persetujuan DPR. Ditambah juga dengan politisasi penggelontoran bansos secara masif pada 2024 dengan keterlibatan para ketua umum partai politik pengusung Paslon 02 Prabowo-Gibran, Presiden Jokowi, serta sejumlah menteri, tanpa mengambil cuti telah menggunakan fasilitas jabatan dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral.

Menurut Didin, hal demikian merupakan manifestasi dari “Pork Barrel Politics” seperti yang dipraktikkan anggota legislatif Amerika Serikat. Praktik politik ini menjadi sangat efektif ketika perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih pascapandemi Covid-19. Pada saat itu, bansos pangan maupun tunai seperti oase yang mengobati krisis ekonomi tingkat bawah, yang notabene tingkat literasi politiknya rendah dan lebih dari 50 persennya penduduk miskin dan nyaris miskin. Dengan demikian, kata Didin, sebagian besar masyarakat memandang bansos pangan maupun tunai sebagai kebaikan Presiden Jokowi yang harus dibalas dengan memilih paslon yang didukungnya.

Selain itu, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, potensi manipulasi bantuan untuk memperkuat basis dukungan elektoral partai atau pemimpin yang berkuasa, sering kali mengorbankan distribusi yang adil dan berbasis kebutuhan. Fenomena ini dikenal sebagai klientelisme, memperlihatkan bagaimana bantuan sosial dapat digunakan untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada daripada melayani kepentingan publik secara umum. Dia mengutip Diaz, dkk. (2016) yang mencoba mengkaji bansos yang terjadi di Meksiko, temuannya menjelaskan bagaimana program bantuan sosial dapat dirancang dan diimplementasi dengan cara yang memaksimalkan manfaat politik bagi pemimpin yang sedang berkuasa sering kali mengabaikan kriteria kebutuhan atau keadilan sosial dalam distribusi bantuan.

“Bantuan sosial telah menjadi alat penting dalam politik tidak hanya sebagai sarana untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga sebagai strategi politik untuk mempengaruhi perilaku pemilih,” jelas Hamdi.

Jokowi Menjadi Kunci Kemenangan

Kemudian, Ahli Sosiologi Universitas Gadjah Mada Suharko menyebut Presiden Jokowi menjadi kunci kemenangan Prabowo-Gibran. Gejala menuju kemenangan mulai tampak manakala Presiden Jokowi menunjukkan arah dukungan kepada Paslon 02. Posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang seharusnya netral akhirnya berpihak dan mengarah pada munculnya gejala-gejala ‘unfairness’ pada proses dan mungkin juga hasil Pemilu 2024. Keberpihakan presiden pada Paslon 02 dan bentuk nepotisme dalam wujud pencalonan Gibran sebagai cawapres adalah strategi pemenangan yang didesain secara sistematis.

“Menurut saya, Paslon 02 sudah menggenggam kunci atau kartu kemenangan dan inilah kemudian yang mendasari bahwa titik awal bagaimana kemudian ketidaknetralan, keberpihakan, dari seorang presiden yang seharusnya berdiri di atas kaki semua rakyat Indonesia,” ucap Suharko.

Tindakan politik Presiden Jokowi untuk memenangkan Paslon 02 terwujud dalam kebijakan penyaluran pembagian bansos dalam bentuk barang mendekati hari pemungutan suara. Selain itu, upaya penguatan konstruksi citra presiden Jokowi, pelanggengan hegemoni kekuasaan Jokowi, serta mobilisasi alat/aparat negara dan konsolidasi kekuasaan merupakan bagian tindakan politik Jokowi untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

Di sisi lain, Ahli Psikologi Sosial Risa Permana Deli yang dihadirkan Ganjar-Mahfud membahas perspektif individu dalam tindakan memilih. Dia mengatakan, skema sebab-akibat paling sering dipakai pada rekayasa sosial. Dalam politik populis, skema tersebut paling sering dilakukan rekayasa dan nalar seperti ini yang sedang terjadi dalam keadaan demorasi Indonesia kini.

“Politik populis memakai prinsip skema ini untuk menyederhanakan penalaran politik kerakyatan yang seharusnya berwibawa, kompleks, mempertaruhkan nilai-nilai kolektivitas untuk akhirnya menjadi semata-mata rekayasa kemenangan,” jelas Risa.

MK Tidak Hanya Memutus Sengketa Hasil Pemilu

Sementara itu, Aan Eko Widiarto selaku Ahli Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya dalam keterangannya menjelaskan mengenai makna kewenangan MK dalam “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Menurut dia, frasa wewenang yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tersebut mengalami reduksi pada Undang-Undang MK, Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu), maupun Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Aan menuturkan, secara terminologi, tentang hasil berarti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hasil. Jadi tidak sebatas pada hasil itu sendiri. Hal-hal lain yang berhubungan dengan hasil adalah termasuk proses yang membuahkan hasil tersebut. Dengan dihilangkannya kata “tentang” maka artinya tereduksi, yakni hanya menunjuk pada “hasil”, tidak pada hal-hal lain yang berhubungan dengan hasil.

“Apalagi frasanya kemudian berekdisis menjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu dan perselisihan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan umum sehingga frasa wewenang MK “perselisihan tentang hasil pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak dapat dikenali lagi. Seharusnya dengan kembali pada rumusan frasa wewenang sebagaimana ditentukan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 makna “memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” mempunyai makna yang lebih luas atau komprehensif dari hanya sekadar memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” jelas Aan.

Sidang diskors sampai pukul 14.00 WIB. Selain sembilan ahli, tim kuasa hukum Ganjar-Mahfud juga mengajukan 10 saksi yang akan memberikan keterangan pada persidangan hari ini.

Sebagai informasi, Pasangan Ganjar-Mahfud mendalilkan telah terjadi kekosongan hukum dalam UU Pemilu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat dari nepotisme yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi. Pelanggaran ini menjadi pelanggaran utama yang terjadi dalam Pilpres 2024.

Tindak nepotisme dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam mendorong Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon Wakil Presiden Nomor Urut 2. Hal ini, sambung Annisa, melahirkan berbagai bentuk abuse of power di seluruh jenjang kekuasaan dan pemerintahan. Fakta ini tampak pada keberadaan UU Pemilu tidak memiliki mekanisme untuk menangani wujud pelanggaran TSM yang diatur, sehingga kekosongan hukum yang ada pada UU Pemilu terlihat jelas.

Berikutnya, Pemohon juga menilai instrumen penegak hukum pemilu yang saat ini tidak efektif yang tampak pada tidak adanya independensi dari Termohon dalam melakukan Pilpres 2024, DKPP melindungi Termohon dengan cara tidak mengindahkan putusannya sendiri, dan Bawaslu tidak efektif dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilaporkan.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024. Mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 13 November 2023 dan Keputusan Komisi Pemiihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 14 November 2023.(*)

Sumber: mkri.go.id

Penulis: Mimi Kartika

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas: Fauzan Febriyan

 

Pos terkait