Pada zaman purba, demikian ahli sejarah mencatat, peradaban manusia tidak bisa dipisahkan dari sumber air. Salah satu pilihannya adalah sungai. Manusia di masa itu hingga saat ini pun, cenderung menetap di dekat aliran sungai.
Bukti konkret bahwa manusia cenderung tinggal di sekitar sungai dengan mudah dideteksi dari peta global, yang memperlihatkan hampir seluruh kota berkembang lokasinya selalu di dekat sungai. Ini karena, khususnya di masa lalu, sungai akan mengalir alias menyediakan air sepanjang masa. Selama itu pula, sungai akan menyediakan kebutuhan pokok atau sumber kehidupan.
Bagi manusia, sungai sejatinya memiliki banyak peran yang strategis di antaranya sebagai suplai air, menanggulangi banjir, menanggulangi kekeringan, alat transportasi, iklim mikro, kesehatan ekosistem, jalur hijau, pendidikan, dan masih banyak lagi manfaat yang lainnya.
Seiring berjalannya waktu, gambaran peta kehidupan di tubir sungai semakin kabur. Banyak sungai yang awalnya menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekelilingnya, semakin menghilang. Baik secara fungsi maupun harfiah alias keberadaannya. Lantaran banyak sungai yang tergilas roda ambisi pembangunan yang tidak mengindahkan lingkungan.
BPS (2020) melaporkan dari 70 ribu sungai (besar maupun kecil) yang tercatat di tanah air, 46 persen di antaranya tercemar berat. Sungai-sungai tersebut saat ini penuh dengan sampah dan buangan limbah, terutama sungai yang berada di daerah pemukiman dan perkotaan.
Data lain dari BPS sebagaimana dikutip situs https://nuwsp.web.id/, disebutkan bahwa pada 2022, dari 111 sungai yang diidentifikasi, hanya 8,1 persen yang memenuhi baku mutu. Sungai dengan kualitas yang baik tersebut, tersebar di beberapa lokasi seperti Jambi (Sungai Batang Tebo); Sumatra Selatan (Sungai Temam dan Megang); Kepulauan Bangka Belitung (Sungai Baturusa); Kepulauan Riau (Sungai Sei Jago); Jawa Timur (Sungai Kali Tengah); Bali (Sungai Tukad Daya dan Tukad Balian); dan Papua Barat (Sungai Kali Mati).
Sementara data KLHK dalam BPS, 2023, sebanyak 91,9% sungai lainnya masuk dalam kategori berbeda, seperti cemar sedang (4,5%), cemar ringan-sedang (8,1%), cemar ringan (73%), memenuhi baku mutu cemar ringan (6,3%). Angka atas kualitas air sungai disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu limbah domestik, industri, pertanian, peternakan, maupun perikanan.
Dari seluruh faktor tersebut, pencemaran paling besar berasal dari limbah domestik. Menurunnya kualitas air sungai akibat limbah domestik, demikian laporan Global Waters (2021), dapat dipicu oleh sistem sanitasi yang buruk serta masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah ke badan air.
Fenomena Global
Selain fungsi sungai yang menurun, keberadaan sungai itu sendiri juga banyak yang menghilang. Sekadar contoh, Kota Palembang, Sumatra Selatan, misalnya, yang telah kehilangan 612 sungai. “Dulu (masa lalu) ada sekitar 726 sungai yang mengalir di Kota Palembang. Namun lambat laun karena Kota Palembang terus berkembang saat ini sungai di Palembang tinggal 114 saja, atau hilang 612 sungai,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Palembang Ahmad Bastari, dalam Forum Grup Discussion (FGD) Sungai Tuo Palembang, Jumat (23/2/2024).
Selain sungai, Palembang juga kehilangan 5.000 hektare lahan rawa dalam waktu 10 tahun terakhir karena banyaknya pembangunan pemukiman. Dampak utama yang terjadi adalah banjir di setiap musim hujan.
Hilang dan tercemarnya sungai bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia. Menurut situs yang khusus membahas lingkungan hidup www.mongabay.co.id, hal itu terjadi merata secara global. Dilaporkan bahwa ribuan sungai di Tiongkok juga hilang. Fenomena serupa terjadi pula di Peru, Bangladesh, Prancis, dan Colorado dalam jumlah yang berbeda-beda.
Sebuah kajian yang dilaporkan tiga tahun lalu memotret secara global degradasi sungai. Sekitar 51 persen hingga 60 persen sungai di seluruh dunia berhenti mengalir setidaknya satu hari dalam setahun. Berarti lebih dari separuh sungai di seluruh dunia tidak bersifat abadi.
Gerakan Restorasi
Menghadapi fenomena menghilangnya sungai, sebuah langkah besar pun diambil. Pada Maret 2023, sejumlah negara yang mengikuti Konferensi Air PBB dalam rangka Hari Air Dunia (22 Maret), menginisiasi program restorasi sungai, danau, dan lahan basah. Program itu, antara lain, akan memulihkan 300 ribu km sungai atau setara dengan lebih dari 7 kali mengelilingi bumi.
Tujuan utamanya adalah untuk mengembalikan fungsi dan kondisi alamiah sungai. Pola penyelesaian yang awalnya berdasarkan aspek teknik sipil hidro secara parsial, diubah menjadi penyelesaian terintegrasi aspek hidraulik, fisik, ekologi, dan sosial.
Langkah ini penting. Sebab masalah yang dihadapi sungai saat ini, jika terus dibiarkan dan tidak ditangani secara serius, mungkin saja suatu saat mati dan tak lagi memberi dukungan bagi kehidupan.
Pada ujung program restorasi diharapkan sungai kembali sehat, yakni sungai bukan hanya menjadi rumah bagi banyak spesies yang beraneka. Namun juga menjadi sumber air baku, pengairan pertanian, pelayaran, sumber energi, bahkan rekreasi.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia sejatinya cukup sigap mensikapi fenomena sungai yang tercemar atau kehilangan fungsi utamanya sebagai sumber kehidupan. Berbagai aksi muncul, seperti Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) (dimulai tahun 2014), Kongres Sungai Indonesia yang digelar tiap tahun dan dimulai tahun 2015, jumlah kegiatan lain terkait restorasi sungai.
Jauh hari sebelumnya, gerakan peduli sungai juga sudah ada, misalnya Citarum Bersih, Sehat, Indah dan Lentari (Bestari)’ di tahun 2013 dan lain-lain. Aksi nyata program bersih-bersih Citarum itu pula yang akan dibawa delegasi RI sebagai showcase dalam kegiatan World Water Forum (WWF) yang digelar di Bali pada 18–24 Mei 2024.
Langkah dan aksi bersih-bersih sungai pada hakekatnya adalah upaya menghindari status sungai tercemar. Sebab, mengabaikan status sungai yang kehilangan fungsi utamanya, akan mengundang konsekuensi yang tidak sedikit. Restorasi sungai wajib dilaksanakan agar sungai yang tidak sehat dan kehilangan fungsinya, bisa dipulihkan lagi agar kembali memperkuat daya dukung lingkungan.
Sumber: Indonesia.go.id
Penulis: Dwitri waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari