Ilustrasi suasana di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Dok. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan)
Nusakambangan bukan hanya lokasi pembinaan, melainkan juga laboratorium sosial, tempat warga binaan menimba keterampilan, sekaligus berkontribusi terhadap agenda pembangunan nasional.
Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, selama ini dikenal sebagai pulau dengan tingkat keamanan tinggi yang menampung narapidana kasus berat, kini tumbuh wajah baru sebagai pusat pembinaan dan upaya ketahanan pangan yang dikelola tangan-tangan warga binaan.
Di tengah hamparan tambak udang vaname di kawasan Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, belasan warga binaan pemasyarakatan tampak sibuk memasang terpal dan memeriksa bibit udang.
Salah satunya narapidana asal Pekalongan, yang kini menemukan arti baru dari hidup melalui lumpur dan air payau, Maman.
Maman yang kini menjadi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Permisan, sejak awal Agustus 2025 terlibat dalam pengelolaan tambak udang vaname. Awalnya, ia bersama rekan-rekannya bergiat memasang terpal, menyiapkan kolam, dan menebar benur udang. Sekarang, telah banyak hal yang dipelajari.
Ia mengaku belum memiliki pengalaman di bidang ini, sebelumnya, namun berkat bimbingan dari petugas dan pelatih, Maman mampu beradaptasi dengan cepat.
Kegiatan di tambak membuat hari-hari di balik tembok lapas lebih bermakna. Warga binaan, seperti Maman, bukan hanya memperoleh tambahan penghasilan, juga keterampilan praktis yang bisa menjadi bekal, setelah bebas nanti.
Baginya, bekerja di tambak memberikan pengalaman berharga, mengusir kejenuhan, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri karena merasa produktif dan bermanfaat.
Maman termasuk di antara 228 warga binaan yang terlibat aktif dalam program ketahanan pangan berbasis pelatihan kerja di Nusakambangan. Mereka tersebar di berbagai bidang pelatihan, mulai dari pertanian, peternakan, hortikultura, produksi pupuk organik, hingga pengolahan hasil perikanan, juga konveksi dan pelintingan rokok sigaret kretek tangan (SKT).
Semua kegiatan tersebut menjadi bagian dari program besar yang digagas Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) untuk memperkuat kemandirian warga binaan dan mendukung ketahanan pangan nasional.
Menteri Imipas Agus Andrianto mengatakan, pengembangan ketahanan pangan di Nusakambangan merupakan bagian dari upaya membangun kemandirian bangsa.
Berdasarkan keterangan resmi, Rabu (5/11/2025), Nusakambangan bukan hanya lokasi pembinaan, melainkan juga laboratorium sosial, tempat warga binaan menimba keterampilan, sekaligus berkontribusi terhadap agenda pembangunan nasional.
Kemenimipas menekankan pentingnya kesinambungan program agar tidak berhenti pada kegiatan seremonial semata. Pelatihan dan kerja produktif di lapas-lapas di Nusakambangan diharapkan berjalan terus-menerus, melibatkan banyak pihak, dan memberikan manfaat nyata.
Program ketahanan pangan itu juga melibatkan proyek strategis nasional, berupa penanaman pohon kelapa di lahan seluas 500 hektare yang digarap bersama Bappenas dan Kementerian Pertanian. Langkah tersebut melengkapi kegiatan perikanan, pertanian, dan peternakan yang telah lebih dulu berjalan di berbagai lapas di pulau itu.
Selain membina warga binaan, Kementerian Imipas juga menjalankan pembinaan mental bagi pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab moral, sekaligus memberikan efek jera bagi pegawai lain.
Langkah tersebut diharapkan bisa menanamkan kembali semangat integritas dan tanggung jawab di lingkungan Kementerian Imipas. Semua pihak, baik pembina maupun yang dibina, sama-sama belajar untuk menjadi lebih baik.
Di Pulau Nusakambangan sendiri terdapat 13 unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan dengan berbagai tingkat keamanan, dari maksimum, hingga minimum. Total lahan yang digunakan untuk kegiatan ketahanan pangan mencapai 48,7 hektare.
Pulau Nusakambangan berada di wilayah Kelurahan Tambakreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan luas mencapai sekitar 121.000 hektare.
Pulau itu dikelilingi hutan tropis lebat dan Laut Selatan yang dikenal memiliki ombak besar. Kondisi geografis tersebut menjadi lokasi ideal bagi lembaga pemasyarakatan dengan sistem pengamanan berlapis.
Masyarakat umum tidak dapat masuk tanpa izin khusus dari pihak berwenang.
Dengan sistem keamanan berlapis dan letak yang terisolasi, para narapidana yang ditempatkan di sana nyaris tidak memiliki peluang untuk melarikan diri.
Nusakambangan telah digunakan sebagai tempat penahanan sejak masa kolonial Belanda. Sebelumnya, tempat ini ditetapkan oleh orang Belanda sebagai monumen alam karena nilai alamnya yang tinggi.
Pada 1905, pemerintah Hindia Belanda mengubah penetapan pulau ini menjadi kawasan terlarang dan lokasi pengasingan bagi pelaku kejahatan berat.
Tiga tahun kemudian, dibangun Lapas Permisan yang menjadi lembaga pemasyarakatan pertama di pulau tersebut.
Pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial memperluas kompleks pemasyarakatan dengan mendirikan beberapa lapas baru, seperti Lapas Batu pada 1925 dan Lapas Besi pada 1929.
Tahun 1950, pemerintah mendirikan Lapas Kembang Kuning, diikuti kebijakan tahun 1983 yang menetapkan Nusakambangan sebagai lokasi khusus bagi narapidana yang sulit dibina di lapas lain.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pulau ini juga digunakan untuk menahan para tahanan politik, termasuk mereka yang terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
sumber Indonesia.go.id

















