Example floating
Example floating
Artikel

Tangga2 Kejatuhan Sang Tokoh Oleh : Elviriadi (Bagian pertama dari dua tulisan)

17
×

Tangga2 Kejatuhan Sang Tokoh Oleh : Elviriadi (Bagian pertama dari dua tulisan)

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Napoleon Bonaparte berdiri nanar. Dia tak menduga singgasana megalomania berderai dikala usia sedang menyala.

Di hadapannya titah Sang Raja mencabut segala keperwiraannya. Tersebab selembar selendang biru bersulam sutera, awal petaka ketika Sang Singa Perancis menyapa, Emely dan Sekuntum Bunga!

Karena itu, seorang tokoh selalu dihadapkan pada tantangan dan godaan sejarah; Ia berdiri diantara histeria publik. Ada harapan disana, tetapi mungkin juga batman trap (jebakan batman) yang sewaktu waktu bisa membuat tersungkur sang Idola.

Secepat itu datang, secepat itu pergi. Begitulah jika tapak tapak ketokohan tak dibangun kuat. Suatu ketika Sahabat ra berjalan menaklukkan Palestina. Bertabur intan permata dijalanan mereka tak memungutnya. Selusin dara jelita tebar pesona tak kepo hati dibuatnya. 

Syahdan, tangga tangga kejatuhan bisa memesongkan kaki sang tokoh, tetapi selalu ada energi bahkan “nyawa” cadangan bagi petarung sejati nan kreatif. Seperti Ghibran (Khalil Gibran, bukan Gibran anak Pak De, Lho..he he) yang melahirkan karya karya sastra memukau. Tatkala impian dan “proposal” cintanya ternyata ditolak “setengah matang”.. he he…(kalau mentah mentah nanti ada yang nangis😭).

Ghibran menelurkan “Sang Nabi (the Prophet)”, Elang Sayap Patah, atau Telinga Masa Depan karya Ali Shariati. Nietzsche menerbitkan “Speak of Zaharthusta”, Hitler mengamuk dgn “Mein Campf” dan Dr. Elv dengan “Seutas Dawai yang….”ini wajib sensor).

Selalu ada tangga tangga kejutahan yang menganga. Seiring nyanyian sunyi sepak juang sang tokoh yang harus berinteraksi dengan manusia yang bermacam ragam, bentuk paras rupa. Disitu dia harus menentukan logika. Ikutilah suara suara sukma.

Bagi sosok mujahid sekelas M.Natsir, H.Agus Salim, Buya Hamka, Bung Hatta, Tan Malaka energi perjuangan telah habis untuk dialektika. Tak tersisa untuk 3 Ta, harta, tahta wanita.

Tapi labirin syaraf, heroisme, dan jenak jenak jiwa setiap insan diciptakan Tuhan beraneka. Begitulah Bung Karno atau Rhoma Irama memainkan dawai dua asmara seraya memasang sekuntum mawar merah ditelinga pujaan hatinya.

Penulis sendiri menyakini, selama tangga tangga tidak menjatuhkan, sang tokoh harus terus mara (maju). Ia harus berjalan dititian licin antara idealisme, pragmatisme, hedonisme dan kesenangan pada wanita dalam 1 tarikan nafas; cinta pada kebenaran. Nafas yang menciptakan gelombang kekuatan baru; yang seperti Leo Tolstoy, Khalil Gibran, agar kejatuhan berbalik arah menjemput kemajuan. Hembuskan air tergenang agar menyamudra. Nyalakan pelita hatimu supaya gelap kejatuhanmu sirna menepi. Ganti ia dengan cahaya cinta yang mulai redup. Yang coba di terangi kembali seperti kibasan selendang jingga seorang dara, bak Ovivie Howensky yang berjalan gontai di bibir Sungai Rokan. Maafkan aku, tak lagi bisa membersamai-mu!

Pekanbaru Minggu 23/1/2022

(Bersambung tulisan kedua)

Example 300250
Example 120x600